--**--**--
Who is 'IT'?
Pengganggu kehidupanku?
Karena telah mengambil sesuatu yang kucintai?
Tidak,
Aku tidak mau membencinya
Pokoknya tidak
Tapi, ayo kita mencari petunjuk dari semua ini
--**--**--
"Menurutmu, apa penyihir hitam itu benar-benar ada?"
"Entahlah," Aku menjawab pertanyaan Ana sembari menendang kerikil yang ada di hadapanku. "Tapi, menurutku penyihir hitam itu bukan hanya seseorang yang bisa melihat hal-hal yang orang lain tidak bisa lihat, tetapi juga seseorang yang bersekutu dengan hal-hal semacam itu. Aku bilang kayak begitu karena aku sendiri bisa merasakan kehadiran 'mereka', bahkan bisa melihat 'mereka' juga. Di tempatku sendiri, Daegu, ada sebuah tempat ritual milik keluarga Nenek yang sudah diwariskan turun temurun. Sedari SMA, ayahku memang sudah membangkang soal ritual itu dan mencari kepercayaan lain."
"Kepercayaan lain?"
"Maksudku, keluarga Nenek sebenarnya okultis. Namun, mereka terdaftar sebagai penganut agama dan ikut merayakan natal. Karena Ayah tau dia adalah keturunan ketiga belas and he will be a good sacrifice for his own family's ritual in the future, dia kabur ke Indonesia sekaligus belajar agama Islam, kemudian menikah dengan Ibu," kataku. "Tapi, sekarang kami dan Nenek sudah berhubungan baik lagi. Namun, arwah yang seharusnya menempeli Ayah sekarang tidak tau lagi ada di mana—"
Aku tersadar dengan kata-kataku sendiri.
Namun, arwah yang seharusnya menempeli Ayah sekarang tidak tau lagi ada di mana—
Aku membulatkan mata.
"Jangan-jangan—"
"Jangan-jangan—" Jovi entah darimana muncul dan mengulangi gumamanku.
"ANA! Hajima!"
Ana terlihat berlari menyebrangi jalan yang masih cukup ramai, menyebabkan bunyi klakson yang bersahut-sahutan. Sontak aku merasa déjà vu, aku melihat Ana seperti melihat diriku sendiri yang menyebrangi jalan di bawah alam sadar pada pertemuan pertamaku dengan Jovi. Setelah Jovi memberitahu padaku bahwa Ana hendak mengejar anak laki-laki bertubuh tinggi yang mungkin disangkanya Eris di seberang jalan, aku langsung menyebrangi jalan dan hanya fokus pada punggung Ana. Bunyi klakson mulai terdengar bersahut-sahutan lagi, bahkan ada pengemudi laki-laki seusiaku yang berteriak ke arahku sembari mengumpat.
Aku tidak peduli. Ana—
Apakah kamu sebegitu sayangnya pada Eris?
"ERIS!" Ana berteriak tanpa sadar, kemudian memeluk anak laki-laki itu dari belakang. Cowok itu terlihat sangat tinggi jika dibandingkan dengan Ana yang tingginya hanya sekitar 150-an. Seratus tujuh puluh tujuh sentimeter, mungkin. Namun sayang sekali, di Korea rata-rata cowok memang segitu tingginya.
"Oh, masalah besar ini," Jovi menepuk dahi.
"Farich?"
Aku dan Jovi sontak menoleh ke belakang. Gadis misterius bergaun hitam tadi? Batinku kaget. "Yang? Cewek itu siapa?" Dia berjalan ke arah anak yang tadi disangka Eris oleh Ana. Ana kaget, kemudian cepat-cepat melepaskan pelukannya dari anak itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Orange Spirit 3 : Dead Leaves ✔
Teen FictionBerawal dari sebuah kegagalan pertamanya, Nara Kim memutuskan untuk pergi keluar kota demi mencapai mimpinya ; menuntut ilmu di universitas impiannya. Tak disangka, Nara Kim harus terjebak dalam suatu lingkaran yang akan menuntunnya ke dalam sebuah...