Gracia POV
Jika kalian menyangka aku mengetahui Ci Shani pertama kali di pernikahannya, maka kalian salah. Hari itu aku sangat bersuka cita, Ci Desy mengajakku menemaninya ke salon. Ketika jenuh menunggunya yang tak kunjung selesai, aku asal mengambil satu dari sekian tumpukan majalah. Itulah kali pertama aku melihat Shani Indira Natio, tiga tahun lalu. Bahkan sebelum Kak Redha mengenalnya, aku lebih dulu mengagumi pada pandangan pertama. Meski tentu saja kekaguman itu sebatas, cantik banget ya?
Sejak hari itu aku mencarinya di internet, kemudian menemukan sosial medianya. Aku boleh jadi menjadi stalker dan larut dalam keanggunan parasnya. Pun citra dirinya di media sosial yang diikuti ratusan pengikut itu. Meskipun aku memberi love pada postingannya, tentu saja itu bagai debu yang menjadi satu dengan debu lainnya.
Ajaibnya Kak Redha menjadi kekasihnya. Dia dengan sombongnya selalu pamer memiliki pacar dengan paras super menawan. Sebagai penggemar, bisa saja aku memanfaatkan Kak Redha untuk mendapat akses bertemu Ci Shani. Tapi kalian tahu? Tiap kali Kak Redha me-riya pacarnya itu, hatiku cemburu. Rasanya ngilu tanpa penyebab. Entah reaksi aneh apa, tapi aku menjadi berhenti dari fandom Inshanity. Dan aku menghindari setiap pertemuan dengannya, hingga hari pernikahannya. Shani Indira, gadis sampulku, kini adalah kakak iparku.
"Ci Shani kan cantik, nggak pengen jadi artis atau model?"
Mendengar pujianku, Ci Shani tertawa kecil, "Masih cantik juga kamu, Ge. Aku cukup jadi konsultan aja deh. Itu aja udah bikin capek, apalagi ditambah ngurusin photoshoot."
"Oiya Ci, kayanya aku pernah lihat model mirip Ci Shani di majalah gitu."
"Iya aku memang pernah mencicipi dunia model sebentar, Ge. Hm gimana ya bilangnya, cuma tiga sampul majalah kayanya. Ngisi waktu luang karena saat itu pekerjaan lagi kurang baik, sekaligus refreshing," jawabnya memuaskan.
Aku seperti wartawan yang sedang menggali lebih dalam latar belakang seorang Shani Indira. Kalau wartawan untuk keperluan berita, kalau aku diperuntukkan database di memoriku.
"Hebat banget sih Ci, masa jadi model cuma buat refreshing. Dari suntuk menjadi pundi-pundi uang, Kalau sekarang Ci Shani bosan, mau pemotretan buat majalah lagi nggak kira-kira?"
"Kalau sekarang aku nggak mau."
Dahiku berkerut, "Kenapa Ci?"
"Karena aku nggak bakalan bosan."
"Ih sok tahu deh Ci Shani, mana tahu kan.."
"Iya, aku nggak bakal bosan. Kan sekarang ada kamu, di hari-hariku.." katanya diakhiri dengan samar.
Aku membeku sejenak. Tuhan, kenapa jantungku berdetak lebih cepat secara tiba-tiba?
Shani POV
"Iya, aku nggak bakal bosan. Kan sekarang ada kamu, di hari-hariku.." kataku dengan lirih. Tapi sepertinya telinganya mencerna dengan baik kata-kataku. Terbukti dengan dia yang diam sejenak.
"Hahaha becanda, Ge! Mau kalau ada yang nawarin. Tapi kalau weekend aja. Kamu nih nanya-nanya kaya mau buat majalah, terus aku jadi foto sampulnya," kataku memecah hening disertai tawa hambar.
"Ih Ci Shani nih! Aku juga lagi ada project gitu buat majalah kecil-kecilan. Tapi mau dijual bebas, jadi butuh sesuatu yang menjual gitu, Ci. Untungnya aja Ci Desy punya banyak kenalan model, kaya Kak Shania Junianatha, Lala sama Fiony. Walaupun mereka model kelas B tapi lumayan lah."
"Oh ya? Lumayan juga relasinya Desy. Memang kamu perannya apa di produksi majalah itu?"
"Kebetulan sih aku fotografer sekaligus atur lay out gitu, Ci."
"Nah bagus tuh, kalau dari sekian kenalan Desy kamu sukanya yang mana?"
Dia diam terlihat serius, seolah sedang berpikir.
"Mau Ci Shani sebenarnya hehe. Tapi aku suka Lala sih, soalnya manis, lucu gitu."
"Suka yang manis dan lucu gitu ya?" tanyaku agak sarkasme, sedikit meredam cemburu yang datang tiba-tiba.
"Iya hehe. Lucu gitu dedek-dedek gemas."
Hm, jadi seperti itu ya, Gracia? Aku melunturkan senyumku, mungkin aku mundur saja? Atau.. tidak ada salahnya belajar bertingkah menggemaskan? Ah! Persetan dengannya, memang dia siapa harus aku yang berusaha. Bahkan aku memang harus menghalau perasaan ini untuk tidak berkembang, karena dia adik iparku. Tetap saja alter egoku meninggi tak terkira. Pada titik ini aku membenci diriku sendiri.
"Ci.." panggilnya kemudian.
"Hm."
"Gini Ci, kalau Ci Shani memang hanya menerima job dari majalah ternama nggak apa. Aku maklum kok meskipun itu bukan bidang Ci Shani tapi prestis Ci Shani tinggi. Tapi kalau untuk motret Ci Shani, boleh?"
Awalnya aku sedang sebal padanya, tapi ucapannya membuatku menoleh. "Ha?"
"Iya Ci, bukan buat sampul majalah sih. Tapi buat sampul ponselku, wallpaper."
Jawabannya membuat tawaku pecah, aku terkekeh geli. Dia izin memotretku dengan takut-takut hanya untuk dijadikan wallpaper ponsel. Hahaha, padahal aku kakak iparnya, kenapa dia menggemaskan seperti itu.
"Kamu nih ada-ada aja, motret bebas aja."
"Terima kasih, Ci." Dia memelukku sebagai tanda terima kasihnya.
Aku? Tolong jangan sampai detak jantungku hinggap di frekuensi telinganya.
"Ci, bagus?" katanya usai memotretku dengan persiapan minim.
Aku bersorak, ini menakjubkan, "Hebat, Gre!"
Gre tersenyum, "Terima kasih Ci, tapi tolong ya jangan diupload, atau share."
"Kenapa Gre?"
"Hm.. Itu Ci. Aku.. Maunya aku aja yang punya foto ini. Aku nggak mau foto ini jadi sampul ponsel tiga ratus ribu followersnya Ci Shani. Yaa, Ci?"
Sejak kapan dia jago gombal seperti itu? Aku ingin mati saja mendengarnya. Gre tumbuh menjadi sweet talker. I love you.
Maaf kalo ada yang ngikutin cerita ini, sempet lama updatenya. Tolong kalo suka dan mau cerita ini terus berlanjut, vote dan comment ya. Sebagai apresiasi dan 'penyokong' semangat untukku :)
Sebagai permintaan maaf, sehabis ini ada bonus chapter fakestagram. Semoga suka. Terima kasih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Step Closer
FanfictionShani Indira jatuh cinta pada adik iparnya. -aku bermimpi memilikimu, Ci. (Gre) -memilikimu hanya mimpi, kenyataannya mendekatlah dan menjadi rekat satu sama lain. (Shani)