Pintu Kedua

6.3K 606 52
                                    

Author POV

Sore ini Shani menghabiskan waktunya di balkon sambil membaca buku dari penulis kesayangannya. Akhir-akhir ini memang pekerjaan sedang tidak sibuk, bahkan dia kepikiran untuk kembali menjadi model majalah sesekali. Sayangnya tanpa Viny, dia tidak mendapat akses tawaran itu. Tiba-tiba dari arah lain, suami dengan ponsel di tangan berseru senang, "Sayang, aku punya kabar gembira!"

Shani menoleh mendapati Redha beserta wajah gembiranya, "Apa?"

"Aku dapat tawaran ngerjain album musisi Australia. Dia memang indie gitu sih, tapi kan keren aja. Tapi kayanya aku harus stay disana beberapa hari, gimana? Daripada aku bolak-balik."

"Aku pernah bilang kan sama kamu, menikah bukan berarti membatasi mimpi-mimpi kita. Asal kamu senang sama pilihan kamu, nggak usah minta izin pun pasti aku nggak apa."

Kalimat istrinya menggetarkan hatinya sesaat, dia menikahi bidadari atau malaikat? Shani manusia bukan sih?

"Tapi tetap aja aku merasa nggak enak sama kamu, niatnya aku ngajak kamu kesana. Sekalian honeymoon kita yang tertunda, kamu bisa kan izin sama kantor dulu?"

Sebenarnya itu ide yang bagus, tapi tidak untuk Shani. Belakangan ini dia agak menghindari Redha, bahkan dia akan sangat bersyukur jika pekerjaannya memakan waktu hingga malam. Tentu saja Redha berusaha membuatnya nyaman, namun Shani terus merasa bersalah jika bersamanya.

"Hm jangan deh, nanti kamu nggak fokus lagi. Kalau kesana niat kerja ya kerja aja sayang."

"Iya sih, kamu benar. Oke deh, nanti aku suruh Gracia nginep disini aja selama aku nggak ada."

Astaga, Gracia? Shani pun tengah menghindari nama itu. Dia sedang berlarian supaya nama adik iparnya tertinggal di belakang.

"Nggak usah sayang, aku nggak apa sendiri. Dia kayanya juga sibuk," timpal Shani cepat.

"Ih nggakpapa, dia pasti senang juga kalau nginep disini. Aku chat dia sekarang nih."

Shani menghela nafasnya panjang, "Terserah kamu aja deh, mau berangkat kapan? Biar aku siapin tas kamu."

Tangannya terulur mengusap lembut rambut istrinya, "Masih besok kok, nanti malam jadiin malam panjang ya sebelum aku pergi?" seringainya diakhiri dengan senyum yang sulit diartikan.

--

Gracia POV

Rasanya tiga hari beruntun bertemu Edricko bukan suatu yang membosankan. Sejauh ini dia teman menyenangkan, selera humor kami mirip dan satu genre musik. Ci Desy memang menganalisa dulu sebelum mengenalkannya padaku, kurasa begitu. Meskipun begitu aku belum menyukainya ke arah yang lebih romantis, hubungan pacaran sama sekali ranah yang belum kupikirkan.

"Mau nonton film sama aku nggak?" tanya Edricko.

"Apa dulu nih? Kalau cocok baru iya."

"Haha, kirain asal sama aku pasti iya," balasnya konyol.

"Kalaupun kamu pacarku aku juga pilih-pilih mau nonton film apaan."

"Yah apa bedanya dong pacar sama nggak kalau begitu."

"Besok rasain sendiri bedanya.." jawabku tanpa sadar.

"Jadi selanjutnya, bisa dong jadi pacar?"

Aku menutup wajahku malu, sudah lama tidak mendengar kalimat seperti itu dari seorang pria. Mungkin aku salah tingkah sekarang.

Tiba-tiba ponselku bergetar, kulihat nama pria paling menyebalkan disana.

Kak Redha

Woy anak kecil, besok nginep rumah ya. Temenin Shani selama aku nggak ada.

Mau kemana si? Punya istri ditinggalin mulu.

Berisik banget. Shaninya aja ga rewel.

Tiati diambil orang, istrinya cantik gitu.

Bct, anak kecil.

Kasar! Gamau. Suruh aja istrinya nikah lagi!

Pokoknya kalo besok ga kesini nemenin Shani, gaada uang jajan tambahan.

Gapapa, udah punya pacar.

Edricko menatapku tidak suka, karena justru asyik menatap layar ponsel ketika bersamanya. Aku segera menyimpan ponselku dan mengurungkan perdebatan selanjutnya dengan kakakku, Redha Gautama.

"Maaf, kakakku lagi ngajakin berantem ini," ucapku jujur.

"Nggakpapa, kalau penting dilanjutin aja. Daripada berantemnya kalah," balasnya sambil tersenyum.

"Hahaha, apaan sih, nggak bakal ada ujungnya kalau debat sama dia tuh."

"Kamu belum nemu kelemahannya aja, kalau tahu langsung serang biar dia menyerah."

"Kamu ahli strategi apa gimana sih?" tanyaku ikut bergurau.

"Lihat aja nanti, strategiku berhasil apa nggak." Dia tersenyum, senyum yang sulit diartikan. Aku ikut tersenyum canggung, rasanya aku tahu dia punya ambisi mendapatkanku?

Shani POV

"Batu banget sih ini anak, nggak tahu anak siapa.." Redha mengoceh tak jelas dan melempar ponselnya ke sofa.

"Kenapa sih?" tanyaku sembari mengecek ponselnya.

Aku menemukan percakapan pesannya bersama Gracia, tentunya pesan terakhir Gracia.

Gapapa, udah punya pacar.

Ah kenapa aku harus membacanya sih? Hatiku kembali nyeri, seperti malam saat aku mengirim pesan selamat karena akhirnya punya pacar. Dia tidak mengabaikan pesanku, hanya membalas singkat, "Thankyou cici." Dan itu membuat dadaku sesak seharian, rasanya seperti patah hati usai kamu ditolak. Padahal nyatanya tidak ada yang terjadi antara aku dengannya. Tidak ada apapun, tidak akan pernah ada.

"Udahlah nggak usah dipaksa, aku juga nggak ada masalah kalau sendiri."

"Iya maaf ya sayang, tapi aku percaya kok dia bakal kesini besok sore."

Aku hanya mengangguk. Apapun, tidak akan menjadi lebih baik. Dia milik orang lain, aku punya orang lain. Tidak ada ruang untuk cinta yang lain.

Tunggu, cinta? Aku baru saja mengaku? Tidak, kamu salah baca. Aku tidak mencintainya, aku tidak memiliki perasaan itu untuknya. Aku hanya, terlalu cepat mengambil kesimpulan.

Ponselku bergetar, menginterupsi lamunanku sejenak.

Gre

Besok pulang jam berapa?

Aku ke kantor kamu, kita pulang bareng aja ya.

Aku jagain kamu sampai suaminya yang hobi nelantarin istri itu pulang.

Ci?

--tbc?

Kayanya Greshan lagi featuring Viny terus ya di Circus ini wkwk

Step CloserTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang