Gracia POV
Semalam aku terlelap dalam damai. Mimpi buruk tak berani datang, mungkin karena takut penjaga di sisiku. Aku menarik sudut bibirku, melihat sisi ranjang yang tinggal selimut saja. Penjagaku sudah pergi, dia selalu disiplin pada dirinya sendiri.
“Kok nggak bangunin aku Ci?” tanyaku ketika melihatnya keluar kamar mandi.
“Walaupun aku nggak bangunin kamu juga pada akhirnya bangun sendiri kan?” balasnya datar tanpa menatapku, aku melihat wajahnya dari cermin. Masih marah?
“Ci Shan kenapa sih?”
Dia melewati pintu begitu saja, tanpa menengok ke arahku yang masih teronggok di ranjang, “Aku tunggu di meja makan.”
Tanganku menepikan selimut, melangkahkan kakiku menuju kamar mandi sebelum akhirnya bergabung di meja makan. Pagi ini firasatku tidak sebaik pagi-pagi sebelumnya, matahari tidak secerah biasanya, atau.. hanya perasaanku saja?
“Pagi Ci Shan.”
Dia memberi setangkup roti yang dioles selai, dilanjutkan menuangkan susu ke gelas di hadapanku. Auranya dingin sekali, aku hampir menggigil jika dia bertahan seperti ini dalam waktu yang lama.
“Nanti Redha pulang.” Akhirnya dia melontarkan satu kalimat pendek.
“Ah iya, nanti sepulang kampus aku berkemas Ci.”
Sebenarnya separuh hatiku ingin mendengar ‘rayuan’ yang menahanku tetap tinggal. Namun cuaca hatinya terlalu dingin pagi ini, sebaiknya tidak mengharap suatu kehangatan.
Benar saja, dugaanku tidak keliru, “Yaa, kayanya nanti aku pulang sore jadi nggak bisa bantu, sekalian jemput Redha. Kalau kamu mau langsung ke rumah nggak usah pamit aku, nggakpapa kok.”
Aku hanya menatap setangkup roti yang sudah kugigit sisinya, “Siap, Ci.”
--Author POV
Hari ini matahari tetap ramah seperti biasanya, langit tetap saja cerah. Hanya perasaan Gracia yang tidak baik, cuaca hati Shani sedang berkabut. Mungkin saja tertutup rasa tak bernama itu?
Semalam memang Gracia tertidur dengan damai di sisinya, dia tertegun memandangi wajah teduh adik iparnya itu. Pikirannya menjangkau skenario apik seolah dia tengah menulis fiksi, tapi tiba-tiba dihantam kenyataan. Shani menyadari jalannya akan berliku, dia harus menjaga pernikahannya yang baru terhitung dua bulan itu. Pun menimbang Gracia sepertinya straight seperti kata Viny.
Meski dibumbui banyak pikiran ‘tidak seharusnya’ tapi sebab Shani menjauh justru bukan alasan prinsipil tersebut. Semalam dia membuka instastory, mendapati Gracia me-repost dari akun Lala. Entah mengapa, itu menguatkan Shani untuk mulai membuat dinding pembatas. Karena pada akhirnya dia yang harus berjuang apabila menyukai Gracia, sedangkan dia tidak dilahirkan untuk berkeringat jika ingin mendapatkan sesuatu.
Lain dari Shani, Gracia menyadari mendung sedang melingkupinya. Dia malas melakukan apapun hari ini, rasanya semuanya berbeda sebelum waktunya. Harusnya dia berhenti mendapat perhatian Shani hari esok, namun mengapa temponya jatuh lebih cepat. Dia tak memiliki ide apapun kenapa Shani berubah menjadi dingin. Bahkan dia tak berani menebak, takut dengan fantasinya.
“Gracia! Gre!” Desy menginterupsi lamunan Gracia yang sedang berhadapan dengan semangkuk bakso.
“Itu bakso dimakan dulu! Nanti lagi kalau mau bayangin yang enggak-enggak..” Okta ikut andil.
“Eh?” Gracia menimpali pelan.
“Di-ma-kan Gracia!”
Gracia mengambil sendoknya, memakan kuah yang sedari tadi hanya mendapat pandangan kosong darinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Step Closer
FanfictionShani Indira jatuh cinta pada adik iparnya. -aku bermimpi memilikimu, Ci. (Gre) -memilikimu hanya mimpi, kenyataannya mendekatlah dan menjadi rekat satu sama lain. (Shani)