Patah Hati

4.2K 394 70
                                    

Shani POV

Kiranya minggu-minggu berat telah terlalui, tapi aku luput mendeteksi hatiku jatuh sedalam itu pada Gracia. Bulan berganti, tapi luka hatiku masih belum mengering. Sehari selepas Gracia pergi, aku kembali ke Jogja bersama Darwis. Aku mau menghapus semua tentangnya, tapi hingga bulan-bulan berikutnya dia masih memenuhi kepalaku.

Berulang kali aku mengetik di roomchat kami tapi tak pernah kukirim. Aku tidak mau membuatnya sulit, jika aku masih membayanginya. Perpisahan ini, biarlah menjadi solusi yang bisa mendamaikan hati semua orang. Pun aku, Gracia, kami mesti menjalani normal yang baru.

"Mamamama.." Darwis menggerak-gerakan kain dasterku, aku menatapnya dengan pandangan kosong. Bayi tak berdosa ini, bukankah tak seharusnya dilibatkan dalam romansa orang tuanya?

Aku bangun dan membuat susu untuknya, lalu menemaninya bermain mobil-mobilan masih dengan mata kosongku. Seharusnya Gracia disini. Semestinya dia yang menemani Darwis bermain selagi aku memasak untuk kami bertiga. Tapi, kenapa semua tak seperti seharusnya? Kenapa bayangan binary kebahagiaan itu mesti sirna? Kenapa?

Ponselku berbunyi. Ujung mataku melirik nama di layar. Redha.

"Halo." Redha menyapa di ujung sana.

"Bisa bertemu? Aku ada di Jogja," lanjutnya.

"Datang ke rumah," balasku singkat lalu mematikan sambungan telepon.

Entah kenapa, rasanya malas untuk berinteraksi dengan orang lain. Patah hatiku parah, membuatku ingin menghilang saja dari dunia ini. Atau terkurung dalam ruang gelap sampai aku tidak sanggup melihat apapun. Toh cahaya harapan itu telah direnggut paksa oleh mekanisme alam semesta ini. Kami, tidak direstui bumi. Cinta? Dia tidak mengalahkan segalanya, sayang.

Pintu rumahku diketuk. Aku tahu siapa yang menungguku di balik pintu. Ketika kubuka, dugaanku tak meleset. Wajah yang kuhindari itu di ambang pintu. Aku tidak membenci Redha, tapi aku menjauhkan seluruh jejak Gracia dari hidupku.

"Darwis mana?" tanyanya mencari putra semata wayangnya itu.

"Darwis baru aja tidur."

Dia mengangguk lalu duduk tanpa menunggu kupersilahkan. "Kamu apa kabar? Makin kurus."

Aku melihat tubuhku sebentar, benar juga. "Bagus. Dulu aku pernah insecure karena gemuk habis melahirkan Darwis."

Sialan. Jawaban itu membawa ingatan hari Gracia membawaku seharian penuh. Dia memotretku kala itu. Dan kami mengakhiri perjalanan dengan berciuman di studio foto milik Kak Yan. Hatiku lagi-lagi ngilu.

"Kutebak kamu masih patah hati. Nggak papa, aku dulu juga lama waktu cerai sama kamu."

Peristiwa cerai aku dan Redha juga karena kehadiran seseorang yang membuatku mempertaruhkan seluruhnya. Gracia. Setelah segalanya, aku tidak mendapatkan imbalan apapun? Setidaknya masihkah kamu disana memiliki rasa kehilangan sebesar aku? Hatiku meragu. Barangkali, Gio telah menina bobokan perasaan cinta yang dulu untukku. Barangkali, dia baik-baik saja. Dan harusnya aku bahagia kala dia bisa tersenyum dan menikmati pandangan Singapura dengan binar kegembiraan.

"Kamu sama sekali putus kontak sama Gracia?"

Aku mengangguk. "Bilang sama mama papamu, aku nggak pernah bertindak curang. Semua udah berakhir."

Dia tertawa miris. "Orang tuaku jahat banget ya."

Tidak. Orang tua kakak beradik itu tidak jahat. Mereka hanya satu dari sebagian umat bumi yang seragam. Mereka hanya menjalani mekanisme dunia, mereka hanya menginginkan kelaziman. Dan aku yang bodoh dengan semua detail mimpi masa depan berharap dunia mengizinkan kelaziman yang baru.

Step CloserTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang