Shani POV
Jam di ponselku telah menunjukkan pukul setengah sepuluh, aku menebak Redha masih menungguku dengan menonton koleksi film favoritnya. Setelah mengantar Gracia sampai di rumahnya, aku bergegas pulang. Tadinya ingin berlama-lama dengannya, rasanya ikut bahagia hanya melihatnya tersipu malu-malu salah tingkah. Tapi aku harus ingat, semua memiliki porsi masing-masing. Bagaimana ya rasanya jadi Gracia yang harus berbagi? Ini membuatku menjadi satu-satunya orang yang serakah disini.
“Udah pulang sayang?” katanya ketika aku membuka pintu.
Redha sungguh masih terjaga, tengah menonton pertandingan MMA di televisi. Tangannya merogoh snack lalu memakannya. Aku tersenyum melihatnya yang berantakan dengan remah snack yang berjatuhan.
“Aku mau kopi dong.” Tanganku menyambar gelas kopi di meja hadapannya. Dia tertawa dan memelukku posesif.
“Sayang aku mau ngobrolin sesuatu yang serius sama kamu,” lanjutnya kemudian.
Aku melihat wajahnya, meminta segera masuk ke dalam topik utama. Jujur ya, aku tidak menebak apapun tentang ‘obrolan serius’ ini. Aku tak punya ide.
“Kayanya udah saatnya kita mikir buat rencana punya anak.”
DEG! Perihal yang kutakutkan akhirnya tiba. Kami memang tidak pernah menyinggung soal ini ketika menjelang menikah ataupun dalam pernikahan. Memang sesekali dia mengucap ingin menjadi bapak yang baik, tapi aku tidak pernah serius mengobrol soal ini.
“Udah setengah tahun juga kita menikah, rasanya nggak ada alasan buat menunda lagi. Aku tahu kamu kerja juga, aku nggak menuntut kamu fulltime jadi ibu rumah tangga nantinya. Kamu tetap bisa melakukan apa yang kamu ingin.”
Dia memang selalu bijak soal ini. Redha adalah pria yang sungguh baik, aku berdosa sekali menyakiti orang baik. Dia nyaris selalu memikirkan aku sebelum memutuskan atau menuntutku melakukan sesuatu. Sebagai pria, tidak pernah dia semena-mena merasa lebih dominan disbanding posisiku, kecuali di ranjang. Kesalahan Redha hanya dua. Pertama, menjadi terlalu baik sehingga aku yang jahat telah lancang menyakitinya. Pun menjadi kakak dari Gracia adalah kesalahan keduanya.
“Kamu takut? Kita jalanin ini bareng-bareng,” katanya makin serius. Dia mematikan televisi, menciptakan suasana yang mendukung obrolan ini.
“Aku takut, aku takut nggak bisa jadi ibu yang baik,” tandasku mencoba mengeluarkan keresahanku.
Usiaku tidak lagi muda, nyaris memasuki kepala tiga. Tentu saja aku ingin hidup sebagaimana perempuan normal di luar sana, lekas menikah dan punya anak. Pun bukan berarti aku tidak menyukai anak-anak, selalu menggemaskan melihat mereka. Ingin punya satu yang lahir dari rahimku. Tapi..
“Nggak ada ibu yang buruk selama dia bertanggung jawab. Kita semua berproses dan selalu belajar. Kita jalanin ini bareng-bareng, aku selalu ada buat kamu..”
Sejujurnya kalimat Redha barusan sangat meneduhkan. Tidak ada padanan yang lebih indah dalam meredakan resah dengan ‘aku selalu ada buat kamu’. Aku semakin tidak tega menatap wajah serius penuh harap itu.
“Yaa?”
Aku mengangguk tanpa tahu ‘ini’ bukan hanya soal membuat anak kemudian menghadirkannya ke dunia. Ini soal komitmen. Sayangnya aku terlalu dangkal demi menutupi kemunafikan diriku, mencoba menjadi seseorang yang selalu membuatnya tersenyum bahagia. Bahkan untuk urgensi seperti ini.
Langkah kakiku memasuki kamar mandi. Aku meremas putus asa rambutku, merutuki semua kesalahan dan kehinaan diriku sendiri. Selamat tinggal Shani yang sempurna. Kamu menyedihkan!
Gracia POV
Tirai kamarku terbuka, membuat cahaya matahari pagi membangunkanku. Kulihat mama dengan sedikit mengoceh menyuruhku bangun, katanya ada Shani di depan. Aku terkejut, sepagi ini? Aduh, aku butuh waktu mempersiapkan diri!
KAMU SEDANG MEMBACA
Step Closer
FanfictionShani Indira jatuh cinta pada adik iparnya. -aku bermimpi memilikimu, Ci. (Gre) -memilikimu hanya mimpi, kenyataannya mendekatlah dan menjadi rekat satu sama lain. (Shani)