Merangkai Akhir

4.3K 372 49
                                    

Author POV

Radio malam itu memutar lagu Pamungkas, menemani mata sembab Gracia. Dia memeluk hangat kepala dalam pangkuannya, sesekali mengelus lembut surai hitam Shani. Malam ini, pun tidak ingin kesedihan hadir diantara mereka. Tapi,

"Aku bakalan nyusul kamu secepatnya kok Ge."

"Tapi masalahnya nggak cuma sampai disitu Shan. Mama minta aku pulang mendadak begini pasti ada apa-apanya."

Shani mendongak, menatap Gracia yang kusut. "Jangan banyak berprasangka."

Gracia membalas dengan gelengan tidak sepakat. "Aku kenal banget sama mama Shan."

"Kamu jangan berburuk sangka dulu, nanti setelah kamu balik ke Jakarta dan lihat kondisinya kabarin aku segera. Aku bakal ngambil keputusan yang terbaik diantara kita."

"Keputusan apa tuh?" Gracia menyambar cepat. Dia tahu pacarnya tak pernah berani memutuskan sesuatu, kecuali perceraiannya.

"Kita jujur ke keluarga kamu," balas Shani membuat mulut Gracia ternganga.

"Kamu gila ya?!" sergahnya tak setuju.

"Kita nggak bisa selamanya begini, Ge."

Gracia POV

Hari-hari terus berjalan tanpa terjerembab lajunya. Semua bagai kalender yang dipercepat. Kontrakku habis, mama mendesakku kembali. Katanya dalam suasana mistis, 'Ada yang ingin mama omongin, Ge. Masa depan kamu.' Aku merasakan merinding ketika mama berujar seperti itu di telepon.

Keterkejutanku belum habis sampai pada ide gila Shani untuk jujur dengan keluargaku tentang apa yang terjadi antara kami. Pernahkah kamu berusaha menyebrang ketika kereta sudah mendekat? Shani bukan hanya konyol, tapi dia mengorbankan jiwa kami untuk dibantai secara cuma-cuma. Hubungan kami sudah pasti kandas, lalu kabar buruknya, semua akan menjadi buruk. Aku tidak tahu harus bagaimana membawa kisah ini supaya berakhir indah. Minimal, ada angin segar untuk menghindar dari tragedi.

"Ge, jaga kesehatan ya. Sampai Jakarta langsung kabari aku." Shani memelukku hangat di terminal sore itu. Aku melepas pelukannya, lalu memandang mata cantiknya yang mulai berkaca-kaca.

"Kamu sama Darwis baik-baik ya disini. Aku sayang kamu," bisikku lirih utamanya pada kalimat akhir. Shani hanya membalas dengan anggukan. Lalu aku melangkah memasuki bus yang akan membawaku beratus-ratus kilometer menjauhinya.

--

Tidurku tak nyenyak karena musik pada bus yang memutar dangdut koplo dengan volume kencang. Aku mengambil earphone dan memilih playlist 'On My Way' pada spotify. Beberapa lagu sudah mengingatkanku pada Shani. Aku menatap jendela bus yang basah oleh rintik-rintik hujan. Maret ini masih saja musim hujan tak beranjak.

Lelah melihat pada gelapnya jalanan, mataku menutup dengan sendirinya. Namun kesadaranku masih sepenuhnya terjaga. Kurasakan pundakku memberat karena beban baru. Aku mengintip dari celah mataku yang terbuka. Pria muda sepertinya masih belasan tahun, entah tanpa sadar atau tidak, menaruh kepalanya di bahuku. Malas berbasa-basi, aku mengabaikannya selama masih tidak menjadi benalu.

Perjalanan panjangku tidak kunjung sampai meski aku merasa telah tidur berjam-jam lamanya. Belum lagi badanku yang pegal karena sepanjang perjalanan tidak berbaring. Aku mengambil botol minum unguku dan membasahi kerongkonganku.

"Kak, semalam aku ketiduran di bahu ya? Maaf ya kak." Suara itu milik oknum yang membuat badanku makin pegal.

"Santai, namanya juga nggak sengaja," balasku ramah.

Dia tersenyum, "Namaku Indra."

Aku menyambut uluran tangannya. "Gracia."

Senyumnya tidak luntur meskipun jabatan tangan kami sudah terlepas. Sekilas dia mirip dengan seseorang yang baru saja kutinggalkan dengan segenap perasaan. Dia mirip dengan Shani Indira.

Step CloserTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang