Backstreet

4.9K 451 46
                                    

Author POV

Kehidupan memang tak ubahnya putaran jam, terkadang cerah dan gelap. Redha pernah berada di puncak kesuksesan, diberi kesempatan mengecap popularitas juga uang berlimpah. Namun ada kalanya, demi menebus kesalahannya dia rela bangun pagi hari dan menunggu pesanan aplikasi ojek online karya anak bangsa itu. Setelah menyelami keadaan, dia memilih bekerja apa saja demi membeli keperluan sehari-hari keluarga kecil mereka.

Shani menjadi seorang ibu rumah tangga penuh waktu, merawat Darwis yang mulai tengkurap. Terbangun di pagi hari, menyiapkan sarapan keluarga kecilnya lalu mengurus rumah sampai akhirnya terlelap lagi. Hidup sederhana, jauh dari gemerlap ibukota seperti kala dulu masih muda dan lajang. Namun Shani merasa bahagia saja, hanya terbebani upaya meredakan gemuruh perasaannya pada adik iparnya yang tak kunjung ada ujungnya.

“Nanti kamu pulang agak sorean ya? Ini dibawa ya. Jangan lupa makan, kamu agak kurusan tuh sekarang.” Shani menyiapkan tempat makan berisi bekal untuk Gracia.

Redha di seberang meja tengah menggendong Darwis dengan pandangan mata iri. Telah sebulan dirinya menahan perasaan cemburunya kepada adik iparnya itu.

“Aku kayanya mau narik sampai malam nih.” Redha andil ingin ikut diperhatikan.

Shani menoleh pada muasal suaranya, “Oke hati-hati ya.”
Hanya ungkapan pendek itu, Redha menelan ludahnya sedikit kesal.

“Ci aku berangkat ya,” kata Gracia sambil mengelus lengan Shani pelan. Lalu berjalan ke arah Redha dan Darwis.

“Kak Gracia berangkat ya sayang.” Dia mencium Darwis dalam gendongan ayah biologisnya.

Redha sekali lagi hanya menatap iri punggung yang melalui ambang pintu itu. Matanya menaruh kesedihan, dirinya sempurna menyadari ada sesuatu yang tidak beres dari pengamatannya.

Gracia POV

Sedikit kerepotan mengatur set untuk foto pre-wedding. Karena selain minim pengalaman, kadang aku baper hehe. Bagaimana tidak, jika diingat usiaku sama dengan beberapa klien yang memesan jasaku. Sementara aku masih begini saja, mencintai ketidak-pastian. Atau tepatnya mencintai sesuatu yang pasti tidak berakhir indah. Tidak apa, toh aku bahagia telah mengarungi badai sejauh ini.

“Gracia, nanti kamu lebih perhatikan lagi ya make up ceweknya. Hasilnya nggak bagus nih.”

“Gracia, coba arahin gayanya lebih mesra lagi.”

“Gracia,”

Dan beberapa protes lainnya. Bagaimana aku mengarahkan gaya mesra. Nyatanya aku sekarang benci pasangan heteroseksual. Tapi aku harus profesional.

Aku berjalan sambil membawa kapas, “Maaf ya mbak, saya tipisin dikit.”

Aku menyeka perlahan riasan wajah mbak calon mempelai. Kuamati dari dekat, cantik juga. Fix, aku memang suka perempuan ini.

“Ayo Gracia, take lagi sebelum mataharinya geser.”

“Kak coba lebih dekat lagi, tangannya dipinggang mbaknya.” Tanganku ikut memberi arahan, supaya lebih merekat lagi.

Aku bergegas kembali pada posisi dan melakukan beberapa jepretan hingga akhirnya tugasku selesai. Setelah merapikan peralatan dan semua properti, aku, Kak Yanuar dan Mbak Andela siap-siap pulang. Tapi aku ingat bekal yang dibawakan Shani untukku. Akhirnya aku memilih menunda kepulangan untuk makan dulu, di tepian danau.

“Duluan aja deh kak, mbak. Aku makan dulu ini. Mumpung pemandangannya bagus.”

“Waduh bawa bekal juga nih, kayanya enak.” Kak Yanuar melihat bekal berisi nasi, mi beserta telur dadar, lalau merecoki acara makanku.

Step CloserTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang