Babak Baru

6.4K 595 54
                                    

Author POV

"Kamu kesini naik apa?" Shani bertanya pada Gracia yang sudah ada di ruangannya.

"Ojek online. Ruangan kamu bagus," puji Gracia sambil mengamati ruangan kecil itu.

"Tunggu sebentar aku beresin dokumen, terus pulang."

Gracia hanya mengangguk, lalu duduk di satu kursi kosong di hadapan meja Shani.

Tanpa menunggu lama, Shani dan Gracia sudah memasuki mobil. Shani di kursi kemudi masih betah dengan keheningan diantara mereka, sedangkan Gracia yang gelisah tak kunjung mengambil alih untuk memulai percakapan. Shani sengaja memutar musik untuk sedikit mengurangi situasi horor tersebut. Namun tangan Gracia melirihkan volume.

Shani menghela nafas panjang, "Selamat ya akhirnya kamu punya pacar."

"Kamu juga selamat udah punya suami."

Shani tertawa ganjil, "Maaf Redha maksa kamu nemenin aku, tapi kamu nggak harus nurut sama dia kok."

Gracia menatap jalanan melalui kaca jendela mobil, dia mengambil hening sesaat.

"Pergi yuk, ke luar kota bareng aku," ucapnya lirih tanpa memandang Shani.

Tentu saja itu cukup mengejutkan bagi Shani yang tengah menyetir, ringan sekali mengajak orang yang bekerja pergi ke luar kota tanpa rencana.

"Aku kerja," timpal Shani singkat.

"Kamu ada jatah izin kan?"

"Nggak bisa."

Shani baru saja menyadari ada sesuatu yang ganjil dari Gracia, dia tidak memanggilnya dengan embel-embel 'cici'. Tapi dia tidak mempermasalahkannya, toh dia nyaman saja. Hanya saja kenapa ya dengan perubahan itu?

"Aku nggak pacaran sama dia," tembaknya secara cepat, membuat Shani menoleh sebentar.

"Namanya Edricko, dia temanku. Aku nggak ada hubungan apapun sama dia."

Shani hanya menanggapi sekenanya, sambil menahan supaya tidak bersorak kegirangan.

"Jadi, pergi yuk sama aku. Tiga hari aja."

"Mau kemana?" balas Shani akhirnya.

"Jogja, Bandung, Bogor, atau manapun."

"Kenapa?"

Dahi Gracia berkerut, tak paham maksud pertanyaan Shani. "Kenapa apanya?"

"Kenapa kamu pengen pergi bareng aku? Kenapa kamu menjelaskan kalau kamu nggak pacaran sama teman kamu itu? Kenapa tiba-tiba kamu nggak panggil aku cici?" Shani menumpahkan semua rasa ingin tahunya. Gracia menjeda sebentar sebelum menjawab tanda tanya itu.

"Aku pengen kita menghabiskan waktu berdua tanpa merasa bersalah, makanya aku merasa kita butuh tempat baru. Kenapa aku harus menjelaskan? Aku juga bingung kenapa aku harus. Tapi aku yakin, kamu nggak akan merubah keputusanmu kalau kamu tahu Edricko pacar aku. Dan kenapa aku nggak manggil kamu cici? Aku nggak akan ngulangin lagi."

Shani khidmat mendengar butir demi butir penjelasan Gracia, tapi dia tidak memahami poinnya. Anggap saja, Shani takut terlalu positif dengan asumsinya. Shani takut kecewa jika ternyata jawaban Gracia, maknanya tidak sedalam yang dimengerti Shani.

"Kamu lagi ngomongin soal apa? Kenapa aku harus merasa bersalah? Aku juga nggak menyakiti siapapun kalau aku bareng kamu. Kecuali aku cowok yang bawa kamu jalan pas kamu punya pacar, itu baru aku merasa bersalah," tandas Shani meminta penjelasan lebih gamblang.

"Aku nggak ngerti, tapi aku tahu Cici paham maksudku."

Gracia POV

Setelah perdebatan cukup lama, aku dan Ci Shani memutuskan untuk pergi ke Jogja selama empat hari. Berangkat hari Kamis dan pulang Minggu malam, rencana kami. Aku memaksa Ci Shani ingin ke Bukit Bintang, padahal aku tidak 'ingin banget' si, biar ke Jogja saja.

"Nanti kita nginep dimana ya? Di rumahku?" tanya Ci Shani sambil mengemasi beberapa helai pakaian.

"Nanti Ci Shan ditanya-tanyain nggak suaminya kemana?" timpalku malas.

"Iya juga ya, Redha pas tour kemarin aja udah diumpet-umpetin infonya dari papa."

"Nginep dimana terserah si, kost harian juga nggakpapa."

"Apa nggak usah ke Jogja aja ya Ge?"

"NGGAK."

Ci Shani terkekeh melihatku batu mempertahankan pilihan, "Kamu punya uang berapa emangnya ngajakin aku pergi?"

Sontak aku memegang kepalaku mengingat biaya yang harus dikeluarkan, "Kita berhemat aja ya Ci, kata Ci Shani kan di Jogja tujuh ribu udah bisa makan."

Kali ini tidak sekedar terkekeh, Ci Shani tertawa puas, "Kali ini biar kamu yang jadi tanggungan aku. Besok kalau kamu udah kerja, gantian kamu."

Aku menghampiri Ci Shani yang tengah mencentang daftar yang harus dibawa, aku heran dia se-detail itu.

"Kamu detail banget sih? Eh cici maksudnya," ralatku cepat karena keceplosan.

"Manggil senyamanmu aja Ge, nggak usah pakai cici aku lebih senang."

"Kok gitu? Jadi nggak sopan dong."

"Daripada kamu berkali-kali typo."

"Dih, emangnya kamu di twitter."

"Heh," hardiknya menggemaskan. Aku memeluknya segera, membuatnya membeku sejenak.

"Kamu tahu kan maksud semua ini? Diam aja ya, cukup kita yang ngerti," ucapku samar.

Dia melepaskan pelukanku, menatapku intens, "Aku akan sangat kecewa kalau kamu sekedar ngasih harapan palsu."

Aku tersenyum sambil menariknya dalam pelukku lagi, menghindari tatapan matanya. "Aku butuh perjalanan ini untuk menjelaskan semuanya tanpa kata-kata."

Kudengar helaan nafas panjang miliknya, mungkin karena semua terasa tiba-tiba. Aku butuh menjelaskan pada pembaca, supaya alurnya tak terdengar terburu-buru. Namun setidaknya berikan aku waktu berdua dulu dengan perempuan yang sedang dalam pelukan.

Shani POV

Sejujurnya ketakutan itu terlalu besar. Aku tidak paham, apakah dia sama sepertiku menginginkan babak baru. Atau dia hanya iseng dengan semua ambigu yang membuatku keliru? Aku tidak pernah tahu, sejauh ini.

Aku melepas pelukankannya, kembali pada aktivitasku mengemasi barang yang perlu dibawa besok pagi. Dia masih melihatku dengan mata indahnya itu. Tiba-tiba ponselku bergetar, membuat dia dan alam bawah sadarnya berpisah.

"Temanku ada kost harian, seratus ribu per kamarnya. Tapi katanya kalau aku mau, kita bisa dapat tujuh lima ribu satu kamar," kataku setelah mengecek pesan di ponsel.

"Ambil satu kamar aja kalau gitu. Tempat tinggal beres ya berarti." Dia mencoret daftar pada kertas.

"Tapi kita nggak harus terlalu berhemat deh Ge, bisa ambil dua kamar."

"Nggak Ci, kamu nggak tahu akan berapa banyak uang yang akan dihabiskan. Kita harus berhemat mulai dari yang kita bisa," jelasnya sok bijak.

Aku tertawa menimpali, "Bisa aja kita potong biaya makan tetap sewa dua kamar, Ge."

"Ci kamu harus lebih peduli sama makan kamu. Kalau kamar bisa diakalin. Uangnya bakalan habis buat transport, makan sama jajan. Belum lagi kalau ada keperluan tak terduga."

"Misalnya?"

"Yaa.. adalah pokoknya! Udah Ci, hemat pesan satu aja."

Aku tertawa mendengarnya yang ngeyel, "Iya aku pesan satu kamar nih."

"Gitu dong. Semoga perjalanan kita menyenangkan ya Ci."

"Semoga."

Semoga.

Semoga :)

-tbc

Selamat Senin pagi. Vote comment tetap ditunggu untuk kebaikan cerita ini. Thank you gaes!

Step CloserTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang