Dinding Pertahanan

6K 385 32
                                    

Author POV

Bintang berkilauan di langit malam. Muda mudi ini baru beberapa jam lalu bertemu dengan menimbun luka masing-masing. Kini keduanya duduk dengan beratapkan langit berbintang. Gadis yang lebih muda menyandarkan kepalanya pada bahu perempuan yang merangkul hangat tubuhnya. Sesekali mereka tertawa dengan cerita-cerita lama yang tertinggal jauh. Saking jauhnya masa kebahagiaan seperti gerbong kereta yang telah berkarat. Mereka hanya bisa tertawa riang sambil mengangankan lagi masa itu bisa terulang.

"Kalau bisa, aku bakalan ambil satu bintang dan taruh di tas kamu. Jadi kemanapun kamu pergi, ada bintang dari aku yang bakal menyinari tiap hari kamu," kata Shani cheesy tapi serius.

Gracia tersenyum melihat mantan pacarnya bicara dengan mimik serius, meskipun ucapannya lebih terdengar tidak masuk akal. Dia menggeleng, "Nggak perlu. Aku cuma butuh kamu, bukan yang lain-lain. Aku cuma butuh dipeluk kamu begini, cuma butuh dengar suara kamu yang menenangkan aku."

"Tapi kamu tahu, aku nggak bisa se.."

"Nggak bisa apa? Kemarin udah janji nggak bakal izinin aku pergi dan kamu nggak bakal ninggalin aku?" potong Gracia kala Shani mulai mengutarakan keraguannya.

Shani memilih menutup mulutnya. Dia tidak ingin mantan pacarnya kian bersedih dan kembali dalam keputus asaan. Biar itu urusan belakangan, pikirnya.

"Pulang yuk, dingin." Shani menarik halus tangan Gracia dari duduknya, lalu membawanya dalam genggaman. Gracia merapat lalu memeluk lengan Shani erat. Tidak peduli pandangan orang lain terhadap kedekatan mereka. Paling ya mereka berasumsi keduanya sepasang kakak adik.

Sesampainya di rumah, Gracia menunggu Shani di kamar. Pemilik rumah tengah menyeduh dua cangkir cokelat panas untuk menemani pertemuan untuk kali pertama usai perpisahan tragis berbulan-bulan silam. Ujung mata Gracia mendapati sebuah kotak berwarna pink di sudut kamar, tepatnya sebelah lemari pakaian. Tangannya mengambil tanpa izin, lalu membukanya pun tanpa membutuhkan izin.

Sebuah memorabilia dari hari-hari indah lalu. Ingatan yang baru saja dipanggil tadi, lagi-lagi memutar karena album foto yang kini telah berada di pangkuannya. Ini adalah album foto yang sama dengan album yang mengiris hati Shani kala malam-malam menyedihkan itu.

"Ge, lihat apa?" Shani menaruh dua cangkir cokelat panas di meja. Dia menghampiri Gracia yang masih membolak-balik halaman album.

Shani ikut duduk di samping Gracia, tapi matanya tidak menatap dalam memori silam yang dicetak. Matanya larut dalam wajah Gracia. Mata indahnya, hidung mancungnya, bibirnya yang tak kalah bagus dan kulitnya yang mulus. Fitur sempurna. Dia menahan nafas melihat gadis itu tersenyum kala berhenti pada halaman sebuah foto.

"Ingat nggak, kamu lagi apa pas foto ini?" Jarinya menunjuk wajah Shani dalam foto.

Perhatian Shani teralihkan pada mimik wajahnya dalam gambar yang terlihat ingin protes. Gracia asal menjepret dan mencetaknya. Sungguh sebuah aib jika diunggah ke media sosial sang selebgram.

"Ingat dong. Ini aku lagi marah sama kamu. Waktu itu kamu ada jalan sama model, terus aku diemin kamu dua hari kan? Eh kamu malah ledekin aku dan fotoin aku tiap menit kali."

Gracia tertawa. "100 buat kamu! Ternyata ingatan kamu bagus, belum pikun."

Shani menyenggol lengan Gracia dengan sikunya kesal. "Iya tahu deh yang masih muda."

Tangannya membalik sebuah halaman. Kini foto keduanya sambil berpelukan di kasur. Tepatnya Gracia dipeluk Shani dari arah belakang. Keduanya berpandangan melihat foto ini lalu tersenyum.

"Haha ini kita malam-malam pakai ribet cari tripod. Lagian udah ngantuk, jiwa fotografi kamu pakai muncul segala."

"Aku cuma mau kita ada foto kita berdua tapi bagus gitu. Agak nggak mungkin soalnya kalau foto studio bisa mesra begini kan? Terus ingat nggak habis itu? Kita nggak jadi ngantuk."

Step CloserTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang