Fase Selanjutnya

3.7K 371 59
                                    

Author POV

Sore ini keluarga Gracia cukup sibuk. Setelah seminggu Gracia di rumah, ada perjamuan dengan kenalan mama Gracia. Ada aroma-aroma tidak sedap, seperti perjodohan. Gracia menyadarinya.

"Shan, gelagatnya udah nggak bagus banget nih."

Shani di seberang sedang mengemasi pakaian Darwis. "Kamu ikutin dulu aja mama. Nanti aku nyusul dan lihat kondisinya dulu. Kamu juga jangan buruk sangka dulu, belum tentu itu perjodohan."

Gracia menggigit ujung kukunya, gelisah juga melihat jarum jam mendekati angka tujuh. "Iya sih benar banget, tapi sembilan puluh persen sih iya. Soalnya mama suruh aku dandan cantik. Duh gimana nih Shan."

Helaan nafas berat terdengar dari telepon genggam. "Terus kamu dandan cantik? Eh tapi kan kamu emang selalu cantik. Ya udah Ge, nanti kalau udah kejadian baru bilang aku gimana-gimananya. Ini aku juga mau jalan nanti jam sembilan bareng Darwis. Sekarang lagi packing."

Mendengar berita bahagia itu sedikit meringankan beban dada Gracia. "Hati-hati ya kamu di jalan. Jangan lupa pakai baju hangat, Darwis juga. Nanti sampai Jakarta istirahat langsung."

"Kamu tuh pas dengar aku mau ke Jakarta aja langsung tenang. Ya udah aku terusin beres-beres ya, kamu tenang disana. Kabarin aku segala sesuatunya. Love you, Ge," kata Shani mengakhiri sambungan telepon.

"Love you sayang.." Klik. Sambungan terputus.

--

Gracia menghadap cermin, memastikan polesan terakhir di bibirnya. Agak berat berdandan bukan untuk Shani. Dia mengambil ponselnya lalu mengambil selfie dan mengirim pada kontak yang disematkan paling atas. Aku dandan buat kamu kok sayang.. *foto* pesan itu muncul di notifikasi ponsel Shani. Penerima pesan hanya senyum-senyum melihat kelakuan pacar daun mudanya. Dia tidak menyangka telah menjadi ibu dari seorang anak tapi masih pacaran ala ABG saja.

Mama Gracia memanggil anak gadis terakhirnya. Gracia muncul di ambang pintu dengan wajah semi ditekuk. Mama menyuruhnya tersenyum, Redha menghela nafas melihat adiknya yang akan menempuh jalan terjal.

Ruang tamu telah ramai. Papa lebih dulu duduk menyambut rekan kerjanya, namanya Om Yudhis. Dia tidak sendiri, ada istrinya dan dua anak laki-lakinya yang satunya Gracia tidak asing. Indra?

"Pak Yudhis, kenalin ini anak gadis saya. Namanya Gracia. Ini bandel banget kemarin pakai merantau segala ke Jogja, katanya mau mandiri."

Gracia tersenyum dan menyapa keluarga Om Yudhis. "Cantik banget ya anak-anak Pak Harlan. Nggak kalah sama kakaknya, Veranda."

"Ini anak saya kebetulan malahan laki semua. Anak pertama Giorgino, dia lama di Singapura dan baru sampai Indonesia sebulan lalu. Nah anak kedua saya ini baru masuk kuliah, namanya Indra. Dia kuliah di Jogja juga lho."

Nah kan, dugaan Gracia tepat. "Saya sebenarnya sudah kenal Indra, Om. Kemarin waktu saya pulang dari Jogja kebetulan sebelahan sama Indra."

Indra tersenyum. "Haha iya, makanya aku nggak asing sama wajahnya. Ternyata Kak Gracia."

Mama Gracia tersenyum senang mendapat ide. "Kebetulan kaya sudah ditakdirkan keluarga kami saling kenal ya Pak Yudhis."

Setelah basa-basi antara mereka, sampailah pada perjamuan utama. Hati Gracia berdegup dengan momentum ini. Apakah dugaannya tepat atau meleset? Dia berdoa untuk tidak tepat sasaran.

"Jadi anak kami Gio juga sudah siap menikah, tapi dia tidak mau sembarang cari pacar. Katanya lebih baiknya kalau dipilihkan orang tuanya saja. Maksud kedatangan kami ya mengenalkan Gio dengan Gracia. Sebenarnya ini bukan perjodohan, hanya saran dari kami karena saya dan Pak Harlan punya hubungan baik sejak dulu. Lalu saya tahu Gracia sejak kuliah dan rasanya memang cocok untuk putra saya," jelasnya tentang maksud kedatangan yang membuat jantung Gracia terhenyak.

Step CloserTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang