Waktu Tidak Menikah

4.8K 462 36
                                    

Author POV

Ruangan ini menjadi lengang. Barang-barang tertata dengan baik, Gracia belajar banyak tentang tata cara berkemas. Shani mengedarkan matanya ke seluruh ruangan, meninggalkan perabotan berat dibumbui jejak-jejak kenangan yang tidak terekam dalam CCTV.

"Mobilnya siap, Kak Reza udah nunggu di luar. Yuk." Gracia menggandeng Shani sambil menarik koper berukuran besar.

Melihat Shani dan Gracia keluar, Reza bergerak cepat mengambil koper di tangan Gracia. Dia gesit memindahkan koper ke dalam mobil. Bertindak seperti sopir keduanya yang bisa diandalkan. Bakat alamiah seorang bos perusahaan, menakjubkan!

Shani menyandarkan kepalanya pada bahu Gracia ketika mobil mulai berjalan. Reza melihat dari kaca mobil, wajah lesu Shani seakan masih tidak menyangka dengan kejadian buruk yang menimpanya.

"Sabar ya Shan, Redha pasti bisa sedih kalau lihat kamu lesu gitu. Kita semua kaget, Redha bakal kena masalah kaya gini."

"Iya makasih Kak Reza."

Gracia mengusap rambut Shani menenangkan perempuannya. "Semua akan berlalu, lupain Jakarta sementara. Tinggalin semua beban disini," bisiknya lirih.

--

Kali kedua Gracia menginjakan kaki di Jogja bersama Shani. Kini bukan Sisca yang menjemput mereka, namun anak pertama keluarga Natio, Henri. Dia sama gesitnya seperti Reza. Semua laki-laki harus memiliki kepekaan seperti keduanya.

"Shani sering cerita soal kamu, kita belum pernah ketemu. Aku Henri."

Dan ini memang pertemuan pertama Gracia dengan anak pertama Natio yang selama ini menghabiskan separuh hidupnya bekerja dan kuliah di Australia.

"Gracia."

Keduanya berjabat tangan untuk memulai perkenalan resmi, Henri tersenyum melihat Gracia. Dia tidak mengira adiknya yang pendiam jatuh cinta pada gadis yang terlihat periang diluar. Sangat berbeda dengan mantan yang dikenalnya, Viny.

"Kak, aku mewakili kakakku minta maaf banget buat keadaan tidak mengenakkan ini ya. Aku merasa sangat bersalah karena kecerobohan kakakku berdampak fatal, apalagi Ci Shani lagi hamil. Dia butuh ketenangan."

"Santai aja Gracia. Kita semua keluarga, kita harus menghadapi bersama-sama. Shani bakal tenang kok disini, dijagain orang-orang yang sayang sama dia. Kamu juga bakal jagain dia disini kan?"

Gracia mengangguk canggung, Henri lagi-lagi tersenyum melihat orang yang membuat adiknya jauh tersesat.

Sesampainya di rumah keluarga Natio, sambutan cukup hangat diterima Gracia. Meskipun tidak sepenuhnya. Padahal sedari mulai perjalanan di Jakarta, dirinya sudah takut luar biasa. Bagaimana menempatkan dirinya, karena persoalan yang terjadi berasal dari kesalahan kakaknya.

"Mama papa titip salam buat om dan tante, katanya mereka kesulitan kalau harus ke Jogja. Karena mama darah tingginya kambuh, om tante. Terus aku mewakili Kak Redha mohon maaf sebesar-besarnya, karena kesalahan dia berdampak fatal buat Ci Shani. Selepas proses rehab selesai, pasti Kak Redha akan segera kesini dan menemui om tante."

"Nggakpapa, saya hanya kecewa kakak kamu tidak menepati janjinya untuk menjaga Shani. Anak saya dipatahkan, saya berkali-kali lebih sedih sebagai orang tua. Beruntung sekali dia punya saudara ipar yang peduli. Terima kasih," ucap Mama Shani menatap hangat Gracia.

Sebaliknya, Tuan Natio masih dengan ketegasan di sorot matanya. "Dulu kakakmu adalah menantu kebanggan saya. Apalagi ketika dia muncul di televisi menerima penghargaan, rasanya Shani mendapat pasangan yang setara dirinya. Tapi ketika berita itu muncul, semua kebanggan saya berubah menjadi rasa malu. Teman klub saya bertanya tentang suami Shani sampai saya absen dari perkumpulan tenis meja. Sampaikan pada kakakmu, dia harus membangun kepercayaan mulai dari nol."

Step CloserTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang