Insecure

4.3K 398 5
                                    

Author POV

Udara malam ini dingin, Jogja sudah memasuki wilayah bagian penghujan. Beruntung Redha sebagai penyedia ojek online berbasis mobil, penumpangnya naik dibandingkan hari-hari sebelumnya. Mengingat keperluan yang meningkat, Redha lebih giat bekerja. Lagipula tidak ada cuaca baik selain di jalan. Rumah hanya tempat bertemu dengan anaknya, kehidupan pernikahannya melebihi cuaca dingin.

Shani melihat rintik hujan yang menyapa kaca jendela kamarnya, menantikan pulangnya Gracia. Dia sudah menyelipkan mantel di tas Gracia, karena pacarnya memang kelewat ceroboh. Makanya beberapa kali pulang dalam keadaan basah. Shani jadi berpikir, Gracia mirip anak sulungnya. Dia seperti mengurus dua anak, karena manjanya hingga butuh perhatian lebihnya tidak berbeda jauh dengan Darwis.

Pintu rumah berderit, Shani melongok siapa penghuni yang lebih dulu berpulang. Wajah Gracia muncul setengah basah. Rambutnya lepek terkena hujan, meskipun pakaiannya terselamatkan. Shani meninggalkan Darwis yang tertidur, membawa handuk kecil untuk Gracia.

“Kak Redha belum pulang?” Gracia memastikan. Shani hanya menggeleng.

“Udah makan?” Shani balik bertanya. Dibalas anggukan oleh Gracia.

“Darwis rewel nggak hari ini? Kamu lesu banget kelihatannya.” Tangannya menyentuh wajah Shani, menelusuri fitur wajah yang menampilkan jejak kelelahan itu.

“Yaa gitu, Ge. Darwis kan memang aktif anaknya. Dia mulai belajar duduk.”

“Sekarang tidur ya anaknya? Aku mau ketemu Darwis.”

Shani menahan Gracia yang melangkah ke kamarnya, “Mandi dulu, baru ketemu Darwis.”

“Oh iya, maaf mamanya Darwis. Mumpung papanya Darwis belum pulang, boleh cium dulu nggak? Hehe,” katanya diakhiri kekehan.

Shani hanya menatap heran, dirinya seperti berpacaran dengan remaja abg saja. Setelah beberapa kecupan singkat, baru Gracia beranjak ke kamar mandi. Shani berlalu ke dapur untuk menyeduh teh hangat, rutinitas malamnya menemani Gracia.

Gracia POV

Akhir-akhir ini memang aku selalu pulang lebih dulu dibanding Kak Redha. Padahal waktu siaranku sampai pukul sebelas, tapi Kak Redha menjelma sosok pekerja yang lebih keras dari siapapun hingga larut malam. Kata Shani, Kak Redha sempat pulang di jam makan malam lalu kembali ke jalan satu jam berikutnya. Jika dipikir, ini seperti Kak Redha sedang menghindariku. Ketika aku di rumah, dia tidak ada. Pun sebaliknya.

Rutinitas tiap malamku, menyelesaikan pekerjaan dengan ditemani teh hangat buatan Shani. Kadang kalau dia sudah terlelap, aku menyeduh kopi. Namun jika Shani masih terjaga, dia melarangku banyak mengonsumsi kopi. Setengah jam pertama, Shani menemaniku diisi dengan obrolan ringan sehari-hari. Tentang apa saja yang terjadi hari ini hingga acara apa yang ditonton Shani selama mengurus Darwis. Apapun itu, aku menyediakan telingaku untuk Shani berbagi. Aku menyadari, dia bisa saja mengalami depresi dengan kondisi yang terlalu menekannya ini. Belum lagi, adaptasinya menjadi ibu rumah tangga penuh dengan minimnya interaksi sosial.

“Tadi aku nonton tivi, ada idol grup JKT48. Tadinya mau ganti channel, tapi karena ingat kamu suka, aku jadi penasaran juga.”

“Oh iya? Terus gimana kesanmu setelah lihat tayangan itu?”

“Hm gimana ya, bagus sih. Kan pas mereka nyanyi, dibawah ada liriknya tuh. Aku suka sama lirik lagunya, positif banget. Terus diksinya tuh bagus, walaupun katanya dari lagu grup lain di Jepang ya aslinya? Dan.. Aku kenal satu member, Lala. Dia beneran member?”

Aku tertawa mendengar penilaiannya, “Kamu tuh udah kaya panelis juri aja nilainya. Iya, Lala memang member, tapi dia generasi baru. Masuknya aja pas dulu dia kubawa ke rumah.”

Step CloserTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang