Jalan Kembali

4.5K 428 66
                                    

Shani POV

Shani telah kembali! Aku kini sudah tinggal di Jakarta. Bekerja lagi menjalani rutinitas budak korporat dengan bergantian mengasuh Darwis bersama Redha. Hidupku perlahan mulai membaik, meskipun ingatan tentang perempuan yang kucintai lebih dari apapun tidak pernah hilang. Setidaknya pandanganku telah tertata dan tak sayu menatap hari-hari yang akan datang.

Oh ya, ternyata Redha lebih dulu move on daripada aku pada adiknya. Kini mantan suamiku telah mendekati seorang penyanyi perempuan, namanya Nabilah. Dia kembali bermain band dengan teman-temannya di Sketsa, pun masih berteman baik dengan Aya. Tapi hatinya, katanya tertambat pada Nabila.

Dia tersenyum kala bercerita tentang sosok yang mungkin sewaktu-waktu akan menjadi ibu tiri Darwis. "Dia tuh lucu gitu anaknya, tapi ya konsisten sama pekerjaan. Kemarin pas ketemu Darwis langsung akrab, kayanya sih suka sama anak kecil. Kamu nggak keberatan kan kalau nantinya Darwis punya ibu tiri?"

"Bagus dong, artinya keputusan kita bercerai dulu nggak selamanya membuat kamu menyesal. Justru aku yang harusnya tanya kamu, kamu nggak papa Darwis punya tiga ibu?"

Dia terbelalak kaget mendengar jawabanku. "Kamu mau sama perempuan lagi Shan? Nggak ada kapoknya," selorohnya.

"Haha, aku lupa udah nggak ada harapan lagi ya sama Gracia."

Dia tersenyum samar lalu mengelus rambutku pelan. "Shan ini hanya masalah waktu. Kalau aku yang segitu cinta matinya sama kamu akhirnya bisa menemukan orang yang baru, kamu juga pasti bisa kan?"

Nafasku berhembus kasar, aku menggeleng. "Namanya kamu nggak cinta mati, Redha. Aku belum bisa lupain Gracia. Tiap aku melakukan sesuatu, selalu ingat saat-saat bareng dia. Jadi, akhirnya aku pilih buat nggak melupakan dia sama sekali. Toh buat apa, aku nggak bakal lupa," cerocosku panjang.

Redha terdiam sejenak dengan balasanku. Dia menunduk dan menatap keramik dingin sambil memainkan jarinya. "Kamu kenapa?" tanyaku melihat tingkahnya.

"Sebenarnya kamu masih ada kesempatan."

"HA?!" timpalku bingung.

"Gracia buat mama papa menyerah. Dia bakalan pulang besok buat terapi sama psikolog."

Sebentar.. Terapi dengan psikolog? Jadi, selama ini Gracia tidak baik-baik saja? Jadi, tidak hanya aku yang meratapinya malam kala aku terbangun sepi?

"Gracia kenapa?"

Redha memijit pelipisnya. "Gracia depresi. Dia juga beberapa kali masuk rumah sakit karena nggak mau makan. Gio udah menyerah dan bilang ke mama papa kalau dia nggak bisa lebih lama lagi membantu Gracia lupain kamu. Akhirnya mama papa memilih pulangin Gracia dan bakalan pengobatan sama psikolog dari sini. Tapi dia larang aku cerita ke kamu. Tapi ya.. Kurasa kamu harus tahu."

Aku memilin ujung bajuku. Gracia, sedalam itu aku menyakitimu? Maksudku takdirmu bertemu denganku membuatmu sampai harus merasakan penderitaan itu? Jika aku tahu dia menolak makan, mungkin aku bergegas terbang hanya untuk menyuapi anak nakal itu. Gracia, kenapa kamu tidak menekan panggilan pada nomorku? Seharusnya kamu menyerah sebelum tumbang.

"Keputusan mama papa tetap nggak mengizinkan Gracia bareng kamu, Shan. Tapi kalau lihat dari peluangnya, kukira psikolog bakalan mencari 'sesuatu' yang memancing Gracia pada situasi stabil. Dan asumsiku, itu kamu. Kalau begini, mama papa bakalan menyerah. Makanya sedari awal aku bilang mungkin kamu punya kesempatan."

"Terima kasih ya Redha udah mengabarkan berita ini, walaupun jujur ini memilukan buat aku. Kalau kamu percaya, aku mendingan dia nikah sama Gio dan baik-baik aja disana daripada harus dengar kabar dia begini. Tapi itu asumsimu ya, aku juga nggak akan punya harapan meskipun kamu ngurai kemungkinan terbaiknya. Terus kemungkinan terburuknya?"

Step CloserTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang