Sorry

4.8K 450 49
                                    

Author POV

Seseorang tengah menyaksikan tayangan televisi dengan ketakutan hebat, Aya. Dia menangis melihat wajah Redha memenuhi pemberitaan karena kasus narkoba. Ingatannya memutar pada malam itu, ketika dirinya pertama kali mengenalkan barang haram itu padanya.

Redha cukup sering menemui Aya usai bekerja, dirinya nyaman berbagi keluh kesahnya yang tidak bisa diceritakan pada teman prianya. Baginya Aya cukup berempati karena mungkin Aya pernah berada di posisinya.

"Gimana kerjaan lo?"

"Yah gini, rejeki bayi kayanya nama gue mulai naik. Tapi nggak enak banget ya jadi terkenal. Gue ngerasa dibawah tekanan banget, apalagi otak dari band gue ya cuma gue sendiri. Kadang buntu buat nyiptain lagu, arransement musik tapi tuntutan agensi harus produktif. Mana lainnya nggak bisa diandalin."

"Solo aja udah."

"Nggak segampang itulah, kita sampai titik ini aja bareng-bareng. Tapi asli sih, masalah terbesar justru bukan karena ini. Rumah tangga gue. Emang ya air setenang apapun pasti beriak."

"Kenapa lagi lo? Ribut sama Shani? Dia pengen lo ada di rumah, tapi lo nggak bisa?"

Redha menggeleng, lalu meminum alkohol dalam gelasnya. "Baguslah kalau gitu. Gue ngerasa Shani nggak mengharapkan kehadiran gue. Padahal kurang apa gue buat dia, tapi ya dia kaya lebih senang kalau gue ngehabisin waktu gue di luar. Kaya gini misalnya. Kita emang secara momentum nggak pernah ribut. Tapi gue tahu, kita sebenarnya nggak baik-baik aja. Gue makin merasa dia bikin jarak. Stres banget gue, mau dibawa kemana pernikahan ini."

Aya merebut botol ketika Redha ingin menuangnya kembali. "Lo omongin lah baik-baik, gimana sih katanya laki. Tapi lo ada firasat nggak kenapa gitu? Apa dia ada main belakang?"

"Nggak sih, mana mungkin dia main belakang. Tapi gue suka cemburu sama adek gue, Gracia. Kayanya dia bisa nyenengin istri gue terus, ya gitu deh. Lo tahulah, ketika itu harusnya tugas kita tapi malah digantikan sama orang lain. Gue kaya pecundang rasanya."

"Gini ya Redha Gautama, kalau lo nggak mau masalah ini berlarut-larut ya diomongin baik-baik. Gue tahu lo sayang banget sama dia, tentunya sama anak lo juga kan. Ada baiknya lo cuti dulu dari acara sore, jalan-jalan kemana gitu bareng istri lo."

"Percuma deh buat saat ini, dia kayanya udah semakin menjauh. Dia dekat tapi jauh, rasanya sesak banget. Mau mati aja. Gue tahu sekarang kenapa dulu lo mau bunuh diri, hidup ini berat banget ya ternyata."

Aya menoyor kepala Redha yang bicaranya makin ngawur, "Gila lo, mau anak lo jadi yatim? Istri lo masih cantik, nanti dia nikah lagi kalau jadi janda."

Suara tawa Redha terdengar sedih, "Selamanya dia paling cantik di mata gue. Nggak ada pria sebaik gue, Ya. Nggak ada pria setangguh gue yang mau menikahi cewek belok."

"Gue bangga banget sama lo, memang ya cinta itu buta."

"Tapi, apa sih yang bikin lo akhirnya lupain keinginan bunuh diri?"

"Ada lah, tapi lo nggak boleh tahu. Barangnya bukan buat orang baik-baik kaya lo."

Tiba-tiba seseorang dengan masker hitam berjalan menghampiri keduanya, "Oi, Aya!"

Aya menoleh, pria yang tidak asing baginya. "Nih barangnya."

Setelah transaksi kilat mereka, tinggalah Redha dan Aya. Senyum Redha mengindikasikan pengetahuannya tentang transaksi barusan, "Gue boleh coba nggak?"

"Nggak boleh, lo bakal hancur. Katanya lo mau lindungin Shani, ya lo jangan macam-macam sama diri lo sendiri."

"Gue udah gagal, gue udah hancur. Shani punya sayap pelindung lain, sayangnya gue merasa itu adek gue. Boleh ya gue cobain? Gue pengen terbang rasanya."

Step CloserTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang