19. apa? artinya apa?

14.7K 2.5K 379
                                    

Mas Ediiii (halahh)
pak ediii (gak pantes)
ommm, om sonn, godain tante dong omm (baru pantes) 😆😂

Frada POV

"Tangan kamu kenapa?" Tanya pak Edison ketika aku menyerahkan map berisikan print out hasil ilustrasi ku padanya sore harinya.

Dengan cepat aku menyembunyikan tangan ke belakang.

"Telat kalau kamu sembunyiin sekarang, saya udah terlanjur liat, kenapa?" Tanyanya lagi dengan wajah menunduk membuka map dan memeriksanya.

Ini orang kenapa sih suka sekali ingin tahu, kemarin diam-diam mencuri dengar percakapanku dengan Alan, sekarang pengen tahu kenapa dengan tanganku.

"Gak kenapa-napa pak" Jawabku.

"Kalo gak kenapa-napa, kenapa di balut perban? Memangnya sekarang lagi tren ya tangan di balut gitu?"

Aku menghela nafas lewat mulut, untung pak Edison masih menunduk sehingga dia tidak menyadari kalau aku kesal mendengar perkataannya.

"Bukannya saya perhatian dan mau tau atau istilah zaman sekarang apa namanya tuh? Kepo?" Tanyanya lalu menopang dagu menatapku.

"Kamu bawahan saya, tangan kamu itu aset kami, jadi kalau kenapa-napa sampai kamu gak bisa ngegambar lagi kan bisa merugikan perusahaan ini" Lanjutnya kemudian.

Raut wajahku melunak mendengar alasannya yang masuk akal, belakangan ini aku mungkin terlalu berpikiran negatif terhadapnya.

Semua di sebabkan karena aku mendengarkan perkataan mas Ardi yang berasumsi demikian.

"Gak kenapa-napa beneran pak, saya gak bisa bikin ilustrasi itu kalo telapak tangan saya yang luka, ini yang luka punggung tangan saya" Kataku sambil mengusap pelan punggung tanganku di balik badan.

"Ohh gitu, lukanya parah? Ngomong-ngomong duduk Fra, kamu kenapa sih setiap kali ke ruangan saya gak pernah langsung duduk dan harus saya suruh dulu" Pak Edison kembali mendongak.

"Urusan saya di sini kan sebentar pak, cuma nyerahin hasil ilustrasi aja" Jawabku, bukannya apa-apa, rasanya sungkan untuk duduk di depan meja atasan.

Kalau berdiri rasanya lebih tepat karena posisi jabatan kami lebih kentara.

"Duduk" Suaranya lebih terdengar seperti perintah daripada meminta, pandangan matanya menatap tepat di bola mataku sehingga membuatku bergerak duduk menurutinya.

"Lukanya parah?" Ulangnya lagi lalu berdiri.

Mataku bergerak mengikuti tubuhnya yang berjalan ke sebuah lemari kecil di sudut ruangannya, pak Edison kembali berjalan tetapi tidak kembali ke kursinya melainkan ke arahku.

"Nggak parah kok pak, gak bakalan sampe di amputasi" Jawabku dengan suara yang terdengar kikuk karena pak Edison kini menarik kursi kosong lalu duduk di sampingku. Dan yang membuatku lebih kikuk lagi sekarang pak Edison menggeser kursiku dengan mudahnya sehingga kami nyaris duduk berhadapan dengan lutut bersentuhan. Berasa seperti berada di dalam bemo.

"Kamu kalo ngomong itu sembarangan ya, memangnya mau di amputasi?" Tanyanya dengan muka serius.

"Ya nggak pak" Jawabku lalu menepuk-nepuk mulut sendiri.

"Ini mau ngapain?" Tanyaku bingung ketika tanganku di tarik olehnya pelan.

"Mau ngecek seberapa parah lukanya" Jawabnya lalu membuka balutan perban lukaku.

Mataku menyadari apa yang tadi di ambil olehnya dari lemari kecil, sebuah kotak p3k.

"Serius pak, tangan saya gak kenapa-napa" Kataku dengan berusaha menarik tanganku karena merasa canggung dan entah kenapa jantungku berdebar-debar merasakan sentuhan tangannya.

Opposite Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang