Aku masih disini meringkuk dalam kesendirian—memeluk lutut yang sudah kutekuk berjam-jam. Ini sudah dua hari berlalu sejak Teh Uchi tidak lagi menemaniku. Ayah mengunciku di kamar. Terakhir kali Teh Ema yang datang memberiku makan semalam dan makanan itu masih seperti semula. Aku berusaha bagkit dari dudukku. Berjalan ke kamar mandi dengan kaki gemetar.
Seusai sholat aku beringsut di atas kasur—memaksa mata untuk terlelap setelah dua hari tetap terjaga. Saat-saat bersama Teh Uchi selalu berputar dalam ingatan ketika mata hendak terpejam. Selimut yang seharusnya rapi di atas ranjang sudah terlempar ke lantai. Tidak. Aku ingin melihat Teh Uchi.
Duk! Duk! Duk!
Aku memukul pintu kamar berharap ada orang di pagi buta membukakan ini untukku. Hal tersebut aku ulangi sampai tenaga hanya tersisa sedikit.
"Tolong buka pintunya. Aku ingin bertemu Teh Uchi!" aku berteriak dalam hati.
Aku memukul mulutku yang tak berguna ini. Kenapa? Kenapa aku tidak bisa bicara saat kakak-kakakku berteriak dan berbicara dengan lancar. Menunggu di samping pintu, sebentar lagi Teh Ema pasti akan mengantarkan makanan untukku. Aku menajamkan telinga saat samar-samar mendengar derap langkah semakin mendekat.
Disaat yang sama Tichi mengeluarkan suara selayaknya kucing biasa. Bahkan Tichi bisa berbicara lalu kenapa aku tidak? Seolah mengerti akan kesedihan yang tengah menyelimuti, Tichi mengendus betisku sambil mengusapkan kepalanya beberapa kali. Kucing malang ini terjebak denganku di dalam kamar ini.
CEKLEK!
Teh Ema. Dia masuk dengan membawa nampan yang sama namun isinya berbeda dengan makanan semalam. Ada semangka. Buah kesukaanku dan Teh Uchi.
"Tifa." Panggilnya lirih kemudian menunduk meraihku dalam pelukan. "Kenapa kamu jadi seperti ini, nak? Tolong jangan seperti ini, Uchi pasti akan sedih melihatmu." Bisiknya. Ia mencium keningku dengan hangat.
"Tidak bisa tidur lagi?" Tanyanya.
Aku hanya mengangguk. Satu dari dua hal yang bisa Teh Ema mengerti dariku—mengangguk dan menggeleng. Teh Ema tidak seperti Teh Uchi yang bisa mengerti bahasa isyarat. Aku mengingat sesuatu, aku mengambil buku dan pulpen yang tersusun rapi di atas meja belajar. Lalu menuliskan apa yang aku maksud. Semoga Teh Ema bisa mengerti denga tulisanku.
Setelah membacanya beberapa saat, aku menangkupkan kedua tanganku. Memohoh agar Teh ema memberiku izin untuk keluar dari kamar. Iya, sebelumnya Ayah melarang siapapun untuk masuk ke kamar kecuali Teh Ema saat mengantar makanan. Dan Ayah juga melarang siapapun untuk mengeluarkanku dari kamar tersebut. Tanpa menunggu jawaban dari Teh Ema, kuberanikan diri untuk berlari. Aku tidak tahu mendapatkan tenaga dari mana. Tapi yang jelas saat ini aku akan mengunjungi kuburan Teh Uchi, hanya sekali ini saja.
Aku tau Teh Ema berusaha menyamai langkahku, dan aku bisa dengar dengan jelas ia berteriak dengan suara sedikit tertahan seakan tidak mau membanguunkan penghuni rumah. Belum sempat aku meraih kenop pintu.
BRAK!
Aku jatuh tersungkur ke lantai. Aku langsung bangkit dan kembali akan meraih kenop pintu tersebut. Tapi seseorang menarik tanganku dengan kasar hingga aku kembali terjatuh. Perlahan aku mengangkat wajahku dan melihat Kak Refan dengan wajah datarnya menatap ke arahku.
"Apa yang kau lakukan?!" Tanyanya dengan nada ketus.
Kenapa semua orang menanyakan apa yang aku lakukan? Apa mereka tak bisa melihat apa yang sedang kulakukan. Percuma saja. Aku kembali bangkit tak mempedulikan sakit di pantat. Tapi Kak Refan dengan cepat mendorongku kembali.
"Ti-Tifa mau pergi ke kuburan Teh Uchi, Tuan muda." Aku melihat Teh Ema sangat gugup.
"Diam di rumah! Gak usah membantah!" Ucapnya kepadaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jangan Buang Aku, Ayah!
General FictionSeperti halnya uang. Bahkan ketika lusuh sekalipun kau akan tetap berharga. Sekalipun dibuang oleh keluarganya, Serena menemukan keluarga baru sebagai pelipur lara. Gadis bernama lengkap Serena Latifa tersebut memliki keterbatasan dalam bicaranya. H...