BAGIAN 33✔️

71.2K 7.5K 81
                                    

Serena berceloteh dengan Umi dan Abinya sepanjang lorong rumah sakit, membawanya kembali ke bangsal setelah tadi menikmati mentari pagi sekaligus berjemur. Matahari semakin hari semakin panas saja, buktinya belum jam sembilan mereka sudah beranjak dari sana karena tak tahan akan sengatannya yang menusuk kulit. Serena kembali tertawa saat Uminya kembali bercerita tentang masa mudanya sebelum Abinya itu berani datang melamar dan mendapat protes dari Tariq karena ia menjadi bahan bulian ibu dan anak itu.

"Jangan mulai lagi, Mi." Sungut Tariq.

"Terus tuh, ya, nak, masa Abi katanya nggak berani datang lagi karena lamaran pertamanya di tolak sama kakekmu, udah gitu dikerjain pula sama Papa untuk mengurus ternakan ayamnya selama seminggu. Padahal Papanya Umi diam-diam menerima pinangan dari orang tua Abi." Bukannya berhenti, Fatmah malah semakin menjadi. Tariq mendelik tajam ke arah keduanya walaupun demikian mereka tetap tertawa. Serena sampai meringis pelan karena kulit perutnya sedikit perih. Mungkin karena terlalu banyak ketawa.

Serena kembali menatap lurus ke depan, membiarkan Abinya mendorong kursi rodanya. sedangkan Uminya berjalan sejajar dengannya di sebelah kanan. Tak sengaja pandangan Serena bertemu dengan seorang gadis yang juga memakai kursi roda sepertinya. Ada tiga orang yang mengikutinya, satu perempuan dan dua laki-laki dan seorang laki-laki dengan kepala dipenuhi uban mendorong kursi gadis itu. Farah yang juga tadi tertawa terpaku di atas kursi roda yang terus membawa mereka mendekat.

Farah diam-diam melemparkan senyum kepada Serena yang melihatnya tanpa ekspresi. Meski sesungguhnya tatapan Farah seakan menyimpan luka yang menyayat hati. Lain halnya dengan Diaz dimana laki-laki tersebut menatap Serena sekilas. Sudah lama Serena tidak menjumpai lelaki tersebut, terakhir saat ia pertama tersadar setelah melakukan operasi yang katanya membuatnya tertidur selama dua hari.

"Kok melamun, nak?" Fatmah menyentuh lengan anaknya lembut, membawa gadis itu kembali ke alam nyata.

Serena sedikit terkejut. Setelah bertahun-tahun lamanya, ia melihat orang itu hari ini. Mereka tampak baik dan bahagia. Serena menyungging senyum tak sesuai dengan hatinya yang kian sesak. Tidak. Ia tidak berharap keluarga itu hidup menderita. Hanya saja, bolehkah ia berharap jika mereka juga merindukannya.

Apa yang kamu harapkan, Serena? Batin Serena berteriak mengingatkan. Mereka sudah membuangmu. Apa yang kamu harapkan?

"Sayang, Kok malah tambah melamun? Ada apa? Ada yang sakit?" Tanya Fatmah beruntun, wajahnya khawatir melihat anaknya tiba-tiba diam.

"Ha?" Serena bengong melihat Uminya. Namun kemudian ia menggelengkan kepala. Lalu meringis salah tingkah.

"Ada apa, Nak? Ada yang sakit?" Kali ini Tariq yang mengeluarkan pertanyaan.

Serena menggeleng. "Tidak apa-apa, Umi, Abi. Serena mau istirahat saja." Katanya kemudian. Setelah mengambil posisi berbaring , Serena melihat ke arah Umi dan Abinya. "Abi, kapan Serena bisa kembali ke rumah?" Tanyanya.

"Tiga hari lagi, ya, Nak. Kami harus memastikan kondisimu benar-benar baik." Sahut Tariq, seakan tahu anaknya itu sudah bosan.

Entah keadaan seperti apa lagi yang dimaksud Abinya itu, karena beberapa kali Serena menanyakan keadaannya kepada dokter dan dokter bilang bahwa sudah diizinkan untuk pulang hanya saja untuk beberapa bulan ke depan harus mengikuti jadwal check-up rutin. Mata gadis itu terpejam. Dia tidak tidur melainkan menenangkan gejolak dalam dada yang kian menyesakkan. Tidak bertemu bertahun-tahun ternyata tidak dapat mengurangi sakit yang pernah mereka torehkan, tidak pula mengurangi harapan agar bisa diakui.

Tanpa sadar gadis itu kembali menangis dalam diam, menahan sesak bagaimana harapan hanya akan menjadi angan. Inginnya membeci, tapi ia tak bisa melawan hati. Karena bagaimanapun dari merekalah ia dilahirkan. Satu isakan lolor dari bibirnya. Hingga sebuah kecupan hangat mendarat sempurna di pipinya.

"Umi di sini, sayang." Suara itu begitu lembut berbisik di telinganya.

Segera Serena membuka mata dan mendapati Uminya menatapnya hangat. Namun ada kecewa di sana. Serena menatapnya dalam diam menyelami mata itu semampu yang ia bisa. Isakan Serena semakin keras.

"Sakit....Umi."

"Apa yang sakit, nak?"

"Dada Serena sakit. Rasanya sesak sekali, Umi. Kenapa masih sesakit ini!" Untuk pertama kalinya gadis itu sedikit berteriak sambil memukul dada yang serasa dihimpit batu.

Fatmah tak lagi bisa menahan air bendungan air mata yang siap menghantam pertahanannya. Masih terbayang cerita dari Dokter Haris tentang bagaimana masa lalu anaknya. Saat itu, ia memaksa suaminya untuk bercerita, namun Tariq tidak sanggup dan akhirnya membawanya kepada Dokter Haris. Ia ingat laki-laki itu mengatakan bahwa anaknya masih belum sembuh, Serena berhasil menutup rapat sakitnya selama ini.

"Umi dan Abi di sini, sayang." Fatmah memeluk Serena, pun dengan Tariq yang sudah tak mampu mengeluarkan kata-kata.

"Jangan buang Serena, Abi. Jangan buang Serena lagi, Umi." Suara itu bergetar dan terisak sarat akan luka.

Tariq dan Fatmah masih menyembunyikan tentang kondisi Fatmah yang sedang hamil. Haris menyarankan untuk memberitahunya pelan-pelan dengan melihat kondisi dan situasi, karena Serena bisa jadi akan berpikir gadis itu akan tersingkirkan oleh posisi calon saudaranya. Serena mungkin akan kembali melukai dirinyanya sendiri karena merasa tidak diinginkan lagi, apalagi dengan statusnya bukan sebagai anak kandung. Itu bukan hanya akan membayakan dirinya sendiri akan tetapi juga ibu dan calon bayi.

"Astaghfirullahal 'adzhim." Berulang kali Fatmah membisikan hal tersebut di telinga anaknya. Bukan hanya untuk menenangkan diri akan tetapi juga secara tidak langsung menuntun Serena.

Tariq kemudian menangkup wajah Serena, menatap mata anaknya yang sudah memerah. "Hei, Serena. Ini Abi, Nak. Nggak akan ada yang buang kamu, nggak akan ada yang berani membuang anak Abi yang sholehah ini. Ingat, Nak, kami selalu berada di sampingmu. Menemani langkahmu, hmm?" Serena memeluk Abinya erat.

Isakan dan air matanya tak mau berhenti, haruskah sekarang ia benar-benar percaya kepada mereka? Haruskah ia benar-benar percaya bahwa orang tuanya yang sekarang tidak akan membuangnya? Haruskah? Ada sisi dalam hatinya yang meskipun mereka tinggal bertahun-tahun lamanya, ia masih takut dan menolak untuk percaya.

Tariq dan Fatmah tahu anak mereka masih menutup diri. Perlakuannya yang sedikit dingin selama ini juga mungkin berkontribusi pada proteksi diri yang anaknya bangun. Sehingga untuk menembus dan mendapat kepercayaan Serena mereka perlu melakukannya secara pelan-pelan, mereka tidak akan memaksa Serena karena Tariq pun menyadari kesalahannya, bertindak tanpa tahu dampaknya. Dulu ia berpikir jika Serena akan meninggalkannya dan Fatmah, dulu ia berpikir mungkin saja anak kecil yang ia temukan dekat rel kereta tersebut akan tumbuh menjadi anak pembangkang karena ia pun tak tahu asal muasal anak tersebut. Ia membawanya hanya karena istrinya memaksa. Ditambah keadaan mereka yang sudah mendapat vonis dari dokter tentang ketidakmampuan Fatmah untuk memiliki anak.

Benar. Dulu mereka menemukan Serena kecil bediri dekat rel dengan pakaian yang lusuh hampir tak layak pakai. Ada beberapa lebam di tubuh anak tersebut dan sempat memberontak tak ingin ikut dengan mereka. Mereka tak pernah tahu trauma yang anak itu alami, mereka tak pernah tahu pesakitan anak itu tersimpan rapi apik di balik wajah polosnya. Meskipun sempat berontak, beberapa bulan kemudian anak tersebut menjadi lebih pendiam, Fatmah mengurusnya dengan baik hingga tawa tak bersuara itu terbit di wajahnya. Satt itulah Fatmah memutuskan untuk menetapkan hari itu sebagai hari kelahiran Serena. Fatmah sempat memberinya nama baru karena sepanjang ia mengurusi Serena, gadis kecil itu tak pernah memberinya informasi apapun. Namun gadis itu menolak nama baru yang diberikan, sampai akhirnya ia menuliskan namanya di sebuah kertas yang masih di simpan oleh Fatmah.

Siapa yang menyangka gadis kecil lusuh itu memberinya segudang kebanggan, membuktikan kemampuannya di balik kekurangan yang gadis itu punya. Meskipun Tariq mempunyai pengaruh terhadap kelancaran kehidupan Serena. Namun ia tak pernah mengintervensi prestasi yang anaknya raih.

***

Tbc

Jangan Buang Aku, Ayah!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang