Sudah berkali-kali lelaki yang duduk di kursi kebesarannya mengusap wajahnya gusar. Seminggu lebih berlalu dengan perasaan tak menentu ia biarkan begitu saja, ia pikir menengelamkan diri dengan pekerjaan akan membuatnya melupakan bagaimana wajah kecewa gadis itu saat terakhir kali mereka bertemu. Bita, sekretarisnya hanya bisa menghela nafas melihat bosnya uring-uringan akhir-akhir ini.
Lihat saja sekarang ia seperti laki-laki yang tidak trurus sama sekali, jambang sudah tubuh di sekitar rahangnya, rambutnya sudah sedikit panjang dan berantakan, lingkaran hitam di sekitar matanya. Kurang apa lagi untuk menegaskan bahwa Rehan adalah laki-laki bujang yang kekurangan pedamping hidup.
"Pak, apa tidak sebaiknya bapak pulang saja?" Sejujurnya Bita sangat kasihan melihat bosnya itu tapi ia tak bisa menunjukkan hal itu di depan Rehan mengingat laki-laki tersebut sangat membenci jika dikasihani.
Rehan mengehntikan kursi kebesarannya yang sengaja ia putar-putar mendengar suara Bita yang ia tidak tahu kapan wanita beranak satu itu masuk ke dalam ruangannya. Ia tersenyum kecil, "sepertinya bukan ide yang buruk." Gumamnya lalu membereskan berkas-berkas yang belum selesai ia pelajari.
Usai semuanya beres segera laki-laki tersebut melangkah keluar. Untuk saat ini tujuannya hanya satu, yaitu rumah Serena. Ia mengetuk-ngetuk stir mobil di tengah kemacetan ibukota di tambah panas terik di luar sana. Matanya menangkap sesosok wanita dengan kotak kayu yang menggantung di depan tubuhnya. Wanita itu menjajakan berbagai macam minuman dan makanan ringan kepada para pengguna jalan yang menunggu di tengah kemacetan seperti dirinya. kedua sudut bibirnya terangkat membentuk senyuman ketika ingatannya melayang saat pertama kali ia tidak sengaja bertemu dengan Serena.
Ketika wanita tadi mendekat ke arah mobilnya, ia segera merogoh dompetnya dan mengeluarkan uang seratusribuan. "Bu, air mineral dinginnya satu." Ujarnya setelah menurunkan kaca jendela mobil. Wanita itu mendekat dengan senyum sumringah karena ada juga yang membeli minumannya dari sekian banyak orang yang memadati persimpangan jalan tempatnya berjualan.
"Waduh, uangnya besar sekali, pak. Saya belum punya kembalian." Kata ibu tersebut jujur. Uang yang ada dalam dompet lusunya hanya beberapa ribuan saja.
"Tidak apa-apa, untuk ibu saja." Kata Rehan.
"Beneran, pak?" Tanya wanita itu tak yakin.
"Benar dong." Sahut Rehan tertular senyuman dari wanita tersebut.
"Alhamdulillah, semoga rejekinya lancar, ya, Pak. Terima kasih, Pak." Ujar wanita tersebut. "Ini buat, bapak." Katanya kemudian memberi Rehan satu kotak tissue. Rehan pun tak menelok dan menerimanya dengan senang hati.
"Terima kasih, bu. Semoga Rejekinya lancar dan sehat terus, ya, bu."
"Sama-sama, Pak. Sekali lagi terma kasih." Wanita tersebut berlalu dari mobil Rehan dengan senyuman yang terkulum di bibirnya, kemudian menyingikirkan diri dari jalanan karena lampu di depan san sudah hijau yang artinya kemacetan akan sedikit terurai.
Rehan menghentikan mobilnya seperti biasa, di seberang jalan di depan rumah yang menjadi tujuannya pulang sekarang. Tangannya sudah menenteng paper bag berisikan makanan yang ia beli di salah satu satu restorant mewah di perjalanan tadi. Tapi matanya tidak asing dengan mobil mobil putih yang terparkir di depan mobilnya. Namun ia mengedikkan bahu, mobil seperti itu tidak hanya satu di indonesia, bukan?
Ia menekan bel yang ada di luar gerbang tersebut, tak lama berselang seseorang keluar. Gadis yang sering bersama Serena, Ghea. Sesampainya Ghea di dekat gerbang bukannya gadis itu langsung membuka gerbang tersebut akan tetapi justru melipat tangan di depan dada sambil menatap Rehan penuh permusuhan. Rehan mengusap tengkuknya merasakan aura negatif di sekitarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jangan Buang Aku, Ayah!
Fiction généraleSeperti halnya uang. Bahkan ketika lusuh sekalipun kau akan tetap berharga. Sekalipun dibuang oleh keluarganya, Serena menemukan keluarga baru sebagai pelipur lara. Gadis bernama lengkap Serena Latifa tersebut memliki keterbatasan dalam bicaranya. H...