Serena sudah siap dengan gamis navy dan jilbab yang senada yang membaluti seluruh tubuh termasuk kepalanya. Berjalan menuju meja makan sampai, ia di sambut dengan senyum hangat oleh semua orang yang ada di meja makan tersebut. Ada Tariq, Fatmah, Ghea, dan satu orang lagi yang sering sekali menyambangi rumahnya dengan alasan datang makan katanya setiap kali Serena menanyakan hal tersebut.
"Ummi nggak mau angkat anak satu lagi?" Tanya Serena tiba-tiba yang mengundang tanya untuk mereka. Mereka saling melemparkan tatapan satu sama lain sebelum kemudian raut wajah Fatmah berubah takut sekaligus khawatir.
"Apa maksudmu, nak?" Tanya Fatmah pelan mengusap lengan Serena peneuh sayang.
"Ini Dokter Haris sekalian diangkat jadi anak aja, Umi." Tandas sambil tersenyum geli.
Helaan nafas terdengar di ruang makan termasuk Haris sendiri yang merasa masih ada yang salah dengan Serena, bukan berarti ia berburuk sangka. Akan tetapi ia masih mengantisipasi keadaan gadis tersebut dalam keadaan baik-baik saja. Terutama tekanan masa lalu yang mungkin masih membayang.
"Kamu yakin tidak mau ditemani sama Abi dan Umi, nak?" Fatmah kembali bertanya. Hari ini adalah jadwal gadis tersebut untuk check-up dan ini kali pertama Serena keluar rumah lagi setelah kepulangannya dari rumah sakit. Karena biasanya dokterlah yang datang untuk memeriksa keadaannya atas permintaan Tariq. Namun kali ini, dokter meminta agar Serena ke rumah sakit untuk pemeriksaan secara menyeluruh dengan fasilitas yang lebih lengkap meski keadaan Serena dinyatakan semakin membaik. Tubuhnya pun tidak ada yang berubah walaupun sekarang hanya di tunjang oleh satu ginjal saja.
"Yakin, Umi. Aku sama Ghe saja. Sekalian mau jalan-jalan sebentar."
"Diantar sama Dokter Haris, ya?" Tawar Tariq menimpali, ia belum bisa menyerah untuk membujuk anaknya tersebut.
Serena terlihat berpikir sejenak sambil memperhatikan satu per satu wajah penuh harap dari mereka. Akhirnya ia hanya mengangguk menyetujui pendapat Abinya, "Tapi diantar saja, ya, Abi. Serena tidak mau ditemani oleh Dokter Haris." Serena berbicara pelan takut Haris akan tersinggung dengan penolakan untuk menemainya check-up.
Tariq melihat Haris yang kemudian diangguki oleh laki-laki tersebut, "Baiklah, Nona. Aku akan menjadi sopir untuk kalian berdua hari ini."
"Iya dong. Itung-itung sebagai imbalan dokter menghabiskan makanan di rumah ini." Kelakar Ghea yang baru mengeluarkan suara setelah hanya menjadi penonton saja sejak tadi karena ia tidak tahu akan masuk ditopik yang mana.
Haris bukannya tersinggung justru tergelak dengan perkataan gadis yang sering menjadi sasaran keisengannya setiap datang ke rumah tersebut.
"Ghea, kok bicaranya seperti itu, sayang?" Tegur Fatmah. Ghea yang bahkan tak merasa bersalah hanya menunjukkan cengiran kudanya. Ghea melirik Serena yang memakan makanannya tanpa selera, makanan yang tersaji dalam piring Serena sama sekali tak mengundang nafsu makan. Fatmah benar-benar mengatur makanan apa yang boleh dimakan oleh putrinya dan mana yang tidak. Wanita yang tengah hamil itu benar-benar berkonsultasi dengan dokter. Juga membuat daftar makanan dan menempelnya di pintu lemari pendingin.
Serena mengamit tangan Ghea usai turun dari mobil Haris dan langsung menyuruh laki-laki itu pergi mengantisipasi agar laki-laki itu tak mengikutinya. Fatmah sudah membuat janji kepada dokter yang akan memeriksa Serena, bukan lagi dokter Fahreza yang sebelumnya menjadi dokter penanggungjawabnya. Hal tersebut tentu atas permintaan Serena. Entah kenapa ia merasa hanya harus menghindari Fahreza.
Namun langkahnya tertahan saat matanya melihat siluet seseorang yang tengah berjalan ke arah dimana ia dan Ghea berdiri. Ghe sendiri ikut menghentikan langkah menatap heran kepada Serena yang diam membeku.
![](https://img.wattpad.com/cover/175877424-288-k649759.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Jangan Buang Aku, Ayah!
General FictionSeperti halnya uang. Bahkan ketika lusuh sekalipun kau akan tetap berharga. Sekalipun dibuang oleh keluarganya, Serena menemukan keluarga baru sebagai pelipur lara. Gadis bernama lengkap Serena Latifa tersebut memliki keterbatasan dalam bicaranya. H...