Langit sedikit demi sedikit berubah warna, dari gelap kemudian muncul semburat jingga di ufuk timur pertanda si raja siang mengganti peran si bintang-bintang untuk mengisi jadwalnya setiap hari pada waktu yang sudah ditentukan. Angin pagi yang berembus sangat menyegarkan. Serena berada di atap rumah sakit demi melihat sang fajar nan jauh di sana.
Cantik. Satu kata itu mungkin tidak sepadan dengan aura keindahan yang terpancarkan. Dari atas sana ia dapat melihat dengan jelas view paling menarik dari rumah sakit, ada fajar di sana. Saat ia mendekati pembatas besi, makin jelas saja pemandangan kota di pagi hari. Rumah-rumah sejajar dan teratur, lalu-lalang kendaraan di jalanan terlihat dari ketinggian entah berapa ratus meter dari bawah sana. Gedung-gedung menjulang tinggi saling menyaingi kekokohan mereka. Seulas senyum terbit di bibir Serena betapa indah ciptaan Allah, meski yang di titipkan melalui akal pikiran manusia sekalipun.
"Sedang apa di sini?" Serena lantas berbalik melihat asal suara. Fahreza tampil dengan kaos polo berlengan pendek pagi ini. Rambutnya klimis meninggalkan kesan fresh.
"Dokter ganteng pagi ini. Tapi sedang apa dokter disini?" Serena tidak bohong memberikan pujian itu. Ia kemudian melihat kembali ke arah si mentari pagi yang perlahan naik. Ia membiarkan wajahnya diterpa cahaya kekuningan itu.
"Kamu sedang merayu saya?" Tanya Fahreza menatap curiga.
Serena tak terima dengan tuduhan yang baru saya dilemparkan kepadanya, "Buat apa aku menggoda laki-laki berumur seperti Dokter." Tukasnya.
"Laki-laki berumur?!" Desis laki-laki itu merasa terhina. Dia tidak setua itu untuk disebut sebagai laki-laki berumur. Tidak sedikit pasien yang menatapnya memuja pu dengan perawat-perawat wanita.
Serena mengangguk lalu tertawa tanpa suara. Serena menghirup udara dalam-dalam, lalu membuangnya secara perlahan. Hal tersebut tak luput dari Rehan yang berdiri di sampingnya.
"Sejak kapan kamu tidak bisa bicara?"
Serena mengangkat bahu, "Sejak lahir mungkin. Aku tidak ingat kapan aku pernah bisa bicara."
"Kamu tidak menyesal?"
Serena melihat ke arah Fahreza. "Untuk apa? Kenapa harus menyesal?"
Kini Fahreza yang berganti mengangkat bahu.
"Pernah suatu masa dimana aku harus berada di titik terandah, aku sesekali mempertanyakan kenapa Tuhan menjadikanku seperti ini. Tapi kemudian aku menyadari itu gak ada gunanya menyesali hal yang sudah menjadi ketetapan-Nya. Mungkin ini cara Allah mencegahku dari dosa lisan. Tahu apa yang paling aku takuti? Itu adalah ketika aku dititipkan sesuatu tapi justru kugunakan untuk hal yang tak sapatutnya. Menggosip misalkan. Wallahu'alam. Sesungguhnya Allah mengetahui sedangkan manusia tidak." Setelah memberi jawaban cukup panjang, Serena kembali menatap lurus ke depan. Melihat hamparan bangunan di bawah sana. Suasana menjadi hening. Serena mempunyai pandangan yang luas, tipikal perempuan bijak dan selalu tampil apa adanya.
Fahreza cukup bangga dengan pemikiran Serena yang sangat dewasa. Saat orang kerap menghakimi diri mereka sendiri, Serena justru bangga dengan apa yang ia miliki. Tak pernah merasa malu hingga ia harus menghindar secara sosial. Pemikiran gadis itu terbuka, namun ada batas-batas yang yang juga harus ia jaga.
***
Diaz berdeham pelan ketika seseorang yang dikenalnya datang dari arah yang berlawanan. Ternyata sahabatnya tidak bohong tentang Serena ada di rumah sakit tempatnya bekerja, entah sudah berapa lama gadis itu di sini namun ia baru bertemu hari ini. Ketika mereka berpapasan sengaja atau tidak Serena tak menggubrisnya atau lebih tepatnya tidak menghiraukannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jangan Buang Aku, Ayah!
General FictionSeperti halnya uang. Bahkan ketika lusuh sekalipun kau akan tetap berharga. Sekalipun dibuang oleh keluarganya, Serena menemukan keluarga baru sebagai pelipur lara. Gadis bernama lengkap Serena Latifa tersebut memliki keterbatasan dalam bicaranya. H...