BAGIAN 22✔️

72.5K 7.3K 84
                                    


Sering kali kita mengambil keputusan yang baik menurut sudut pandang kita dengan harapan itu tidak akan melukai orang lain. Namun yang terjadi malah sebaliknya, keputusan tersebut justru membuat mereka lebih terluka. Sekiranya itulah yang terjadi pada Serena hingga kemudian ia kembali memutuskan untuk menghubungi kedua orang tuanya san memberitahu perihal keberadaan dan keadaannya. Benar. Subuh tadi, ia sudah menghubungi Fatmah dan Tariq, namun ia tak pernah menyebutkan siapa penerima organ tubuhnya tersebut kecuali ia hanya bilang keluarganya.

Di sinilah mereka sekarang, dalam ruangan 503. Serena duduk bersimpuh depan orang tuanya dengan berurai air mata. Sungguh ia menyesal, ia pun tersakiti dengan keputusan yang ia buat sendiri dan makin sakit ketika ia membayangkan dia sendiri berada di posisi sebagai orang tua. Fatmah mengangkat bahu anaknya dan memeluknya erat. Walaupun sempat kecewa, tapi apa yang dilakukan anaknya tentu saja dengan pertimbangan yang berat. Tariq yang semulanya diam bergerak memeluk dua orang yang menjadi harta paling berharga dalam hidupnya.

Suara ketukan pintu menyela suasana haru yang terjadi. Dokter Aliya berdiri tak enak hati di ambang pintu. Ia tak tahu jika di dalam sana ada orang lain apalagi ia bisa merasakan suasana sendu yang terjadi. Tak lama, Dokter Fahreza berdiri di belakang dokter Aliya.

"Eh, dokter, maaf."

"Sedang apa di sini?" Tanya Fahreza.

"Aku ingin memeriksa keadaan Serena." Jawabnya.

Fahreza mengerutkan keningnya, pertanda ia membutuhkan penjelasan lebih. Memangnya kapan mereka kenal? Dokter yang bertanggung jawab terhadap keadaan gadis itu adalah dirinya bukan malah dokter di depannya sekrang ini.

"Oh iya, Serena itu temannya Dokter Haris Dewangga Pangabean, yang dulu sempat koas bersama dokter. Aku diminta untuk melihat kondisinya." Jela Aliya sambil mengingatkan tentang Haris.

Fahreza terlihat berpikir sejenak, kemudian ia mengingat sesuatu. Ia ingat Haris adalah teman sekamarnya waktu koas dulu. Termaauk laki-laki paling banyak digilai karena kepintaran dan keramahannya. Ia kemudian mengangguk. Namun kabar terkahir yang ia terima dari laki-laki itu adalah bahwa ia beralih profesi dari dokter bedah menjadi psikolog.

Keduanya sudah pamit dari ruangan Serena. Mereka ingin memberi waktu untuk keluarga tersebut. Namun Fahreza juga penasaran apakah itu benar-benar keluarga Serena atau bukan. Nanti saja ia akan menanyakan.

"Kamu tau apa yang terjadi pada anak itu?" Anak itu yang dimaksud Fahreza adalah Serena.

"Tidak. Haris hanya meminta sesekali melihatnya. Tapi, dok, dia sakit apa?"

Fahreza hanya mengangkat bahu. "Aku duluan, dokter Aliya. Aku harus lihat beberapa pasien." Pamit Fahreza.

"Baik, dok." Aliya tak berani protes karena jawaban yang ia dapat menggantung begitu saja. Fahreza baik, Aliya akui itu. Namun tetap saja laki-laki itu kadang dingin.

***

Kelopak mata Farah begerak pertanda sang empunya sudah sadar. Diaz tertidur dengan posisi duduk dan kepadanya berada di sisian brangkar. Laki-laki itu terkesiap dari tidurnya karena seseorang mengelus kepalanya. Bagaimana tidak, sejak semalam adiknya itu tak sadarkan diri di atas lantai dengan posisi infus seperti dilepas paksa.

"Kamu sudah sadar, sayang. Kakak panggil dokter dulu." Katanya. Meski ia dokter tetap saja ia tidak bisa memeriksa adiknya.

Farah menahan tangan Diaz, menyuruhnya mendekatkan telinganya.

"Air." Suara Farah begitu lemah dan parau.

Segera Diaz mengambilkan segelas air dan sedotannya. Posisi Farah tak memungkinkan gadis itu untuk meneguk langsung dari gelas. Kemudian ia menyuruh Dian mendekatkan telinganya yang dituruti oleh laki-laki itu.

Jangan Buang Aku, Ayah!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang