BAGIAN 37

76.8K 6.7K 104
                                        

Sudah satu minggu Serena berada di rumahnya setelah kesadarannya kembali. Seminggu itu pula gadis tersebut diam seribu bahasa, hanya ada gelengan atau anggukan kepala saja ketika orang-orang mengajaknya bicara. Bahkan Umi dan Abinya sekali pun tidak berhasil mengajaknya bicara. Senyum yang dulu tak pernah pudar, kini hilang entah kemana. Mata yang dulu selalu berbinar, kini hanya mampu menatap satu penuh luka. Tak jarang gadis itu melamun di taman belakang rumahnya atau hanya menatap kosong pada televisi yang menyala di depannya. Seperti saat ini, misalnya, gadis itu memandang kosong ke luar jendela, walaupun televisi yang menempel pada tembok kamarnya terus berbicara sendiri.

Suara ketukan pintu mengalihkan sedikit perhatiannya, ada Fatmah di sana yang menyunggingkan senyum hangat dan ia hanya membalasnya dengan senyum simpul kemudian kebali ke aktivitasnya semula, menenggelankan diri dalam pikiran. 

"Sayang, sekarang makan dulu, ya? Abis itu minum obat." Kata Fatmah mencium kepala Serena.

Lihat, kan? Serena hanya mengangguk. Namun, hal itu tak menyurutkan semangat Fatmah untuk mengembalikan anaknya seperti sedia kala, gadis yang ceria dan penuh senyuman.

"Mau Umi suapin?" Tanya Fatmah.

Serena menggeleng, ia mengambil piring berikan makanan dan sayur kesukaannya. Tak ada yang berubah dari cara makan Serena, gadis itu tetap lahap menkmati setiap suapan yang diterima oleh mulutnya. Kemudian sebuah berita tentang kehamilan salah satu artis membuat mengangkat kepala menatap televisi itu sekilas, lalu melihat Fatmah.

"Umi hamil?" Tanyanya. Itu adalah dua kata pertama yang keluar dari mulut gadis tersebut setelah seminggu hanya diam dan melamun.

Fatmah terkejut dengan pertanyaan Serena, namun ia juga bersyukur anaknya itu kembali berbicara walaupun ia belum tahu bagaimana reaksi anaknya jika ia jujur.

"Memangnya Umi boleh hamil, sayang?" Tanya Fatmah. Ia sengaja bertanya demikian untuk melihat respon anaknya tersebut.

Serena terdiam, ia mengaduk-aduk makanannya sambil menunduk. Fatmah yang melihat hal tersebut hanya menatap penuh kesedihan. Padahal ia seharuanya sudah menduga respon Serena akan seperti apa jika anaknya tersebut tahu keadaan yang sebenarnya.

"Umi dan Abi nggak akan meninggalkan Serena kalau Umi punya adik bayi?" Tanya Serena pelan, ada sedikit ketakutan dalam kalimatnya yang sedikit bergetar.

"Nggak akan ada yang meninggalkanmu, Sayang. Umi nggak minta Serena untuk percaya sepenuhnya pada Umi, tapi Umi mohon sama kamu, Nak, bantu Umi, ingatkan Umi jika Umi salah atau khilaf." Kata Fatmah. 

"Umi dan Abi nggak akan buang Serena, kan? Kalaupun kalian berniat tolong, Umi, jangan lakukan hal itu. Serena nggak akan tahu Serena akan pulang kemana."

Fatmah tak lagi mampu berkata ia hanya mampu menggeleng-gelengkan kepala. Lalu memeluk Serena erat.

"Umi jangan banyak nangis, nanti dedek bayinya cengeng." Segera Fatmah mengurai pelukan itu dan menatap anaknya dengan tatapan tak terbaca. "Serena sudah tahu jika Umi hamil. Serena nggak sengaja menemukan surat keterangan dari rumah sakit di kamar Umi beberapa hari lalu." Serena menjelaskannya.

"Apa itu alasan Serena mendiamkan Umi dan Abi?" 

Serena mengangguk polos. "Jujur saja, Umi. Aku takut, aku taku porsi kasih sayang Umi dan Abi kepadaku akan berkurang. Aku takut Umi dan Abi. Aku takut jika nanti saat bayinya Umi lahir, Abi akan mengusirku." Serena menyampaikan ketakutannya selama ini.

"Nggak akan ada yang akan meninggalkanmu, sayang. Justru Umi yang takut kamu pergi, makanya Umi tidak cerita sejak awal." 

Serena menyingkirkan piring dari pangkuannya lalu berhamburan ke dalam pelukan Fatmah. Ia snagat merindukan perempuan ini, perempuan yang merawatnya sampai ia sebesar ini. Bisakah kali ini ia mepercayai mereka? Iya, dia akan mencoba. Dia akan mencoba untuk tidak mengecewakan kedua orang tuanya. Ia sadar sepenuhnya selama ini ia telah banyak membuat Uminya menangis, membuat Umi dan Abinya dilanda kesedihan. 

Jangan Buang Aku, Ayah!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang