BRAK!
Aku terkesiap mendengar suara tersebut yang ternyata adalah suara pintu kamar menghantam tembok, pintu itu terbuka lebar. Aku melihat sosok ayah berdiri di sana dengan api amarah yang menayala di matanya. Dengan tertatih aku berlari sedikit lalu memeluk kaki ayah, bukan karena aku takut dengan mata itu akan tetapi karena aku terkejut.
Namun belum sempat aku menjangkau kaki tersebut, ayah lebih dulu menangkap bahuku menyeretku hingga ke mobil hingga aku sedikit limbung ketika ayah dengan sedikit kasar mendorong tubuhku ke dalam mobil. Setelah memeperbaiki posisi dudukku aku baru menyadari bahwa hari sudah petang dan belum menunaikan kewajiban maghrib. Aku merasakan nyawaku melayang ketika ayah menendari mobil yang kami tumpangi dengan kecepatan tak biasa, hingga kemudian ayah memberhentikan mobilnya dekat lintasa kereta api yang gelap dan minim cahaya.
Ayah kembali menyeretku dangan kasar dari mobil tanpa sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya. Aku pun mendongak saat ayah berhenti disamping rel kereta api dan melepas tanganku yang tadi ditarik. Ayah kemudian berbalik hendak ke kembali ke mobil, lantas aku bertanya "Ayah mau kemana?"
Langkah ayah terhenti sesaat, kemudian berjalan lagi aku berlari menghalangi langkah ayah. Sungguh aku benci gelap dan takut akan ditinggal sendirian. Aku memeluk tungkai kaki dengan erat, sambil merintih dalam hati, "Tidak, Yah, jangan tinggalin Tifa sendirian lagi." Ayah berusaha untuk melepas tanganku yang memeluk kakinya dengan erat. Aku menggeleng tegas agar ayah tidak meninggalkanku sendirian.
"Sudah aku bilang jika kau mengacau, aku akan membuangmu, SIALAN!" Aku bisa merasakan kekesalan dan kemarahan ayah saat menagatakan kalimat tersebut.
"Tidak. Ayah gak boleh buang Tifa. Karena yang dibuang itu sampah." Kataku dengan gerakan tangan yang tanpa sadar tangan yang menjadi pengganti suaraku untuk bicara terlepas dari kaki ayah. "Tifa manusia bukan sampah."
Aku tidak tahu apakah ayah mengerti atau tidak dengan apa yang aku katakan, karena sebelumnya kami sangat jarang bicara atau bahkan tidak pernah. Aku juga tidak mengingatnya. "Dengar, kamu itu sampah. SAM-PAH. Sampah keluarga, kamu itu aib dan benalu ."
Aku menggeleng menolak apa yang ayah katakan. "Jangan buang Tifa, Yah." Aku akan memeluk kembali kaki ayah tapi ayah sudah lebih dulu kembali masuk ke dalam mobil, hingga mobil itu kembali berjalan menjauhiku.
"JANGAN TINGGALIN TIFA, YAH! TIFA TAKUT GELAP. YAH, JANGAN BUANG TIFA!" Aku hanya mampu menjerit dalam hati sambil menggerakkan tangan tanpa ada yang peduli. Mobil ayah semakin jauh, jauh hingga tenggelam oleh gelapnya mlam yang menceka. Tak lama suara kereta api dari kejauhan, semakin lama semakin mendekat dan kesadaranku terenggut.
***
Perlahan aku membuka mata saat aku merasakan dingin yang menusuk hingga ke tulang. Aku belum juga bergerak karena tubuhku begitu sakit dan juga menggigil. Namun saat aku sadar dan mendengar rintihan-rintihan kecil yang tak jauh dari tempatku berada. Barulah aku bangkit.
"Aku berada dimana sekarang?" Tanyaku hanya dalam hati aku melihat sekeliling dan melihat begitu banyak anak yang terkurung dalam jeruji besi. Ah tidak! Tepatnya kandang-kandang besi seolah mereka binatang seperti yang aku pernah lihat di kebun binatang yang aku datangi dengan Teh Uchi. Namun aku baru sadar jika aku berada di tempat yang sama seperti mereka. Dengan segenap perasaan takut aku mendekati pintu bersi tersbut yang digembok berharap siapapun untuk segera membukakan pintu ini untukku.
Aku memukul-mukul gembong yang tergantung hingga menimbulkan bunyi cukup keras, namun tak juga terbuka. Aku sangat kesal kenapa gembok tersebut tidak juga terbuka. Aku tidak mengerti kenapa aku bisa sampai pada tempat ini. aku melihat anak-anak yang terus melihat kepadaku.

KAMU SEDANG MEMBACA
Jangan Buang Aku, Ayah!
Ficción GeneralSeperti halnya uang. Bahkan ketika lusuh sekalipun kau akan tetap berharga. Sekalipun dibuang oleh keluarganya, Serena menemukan keluarga baru sebagai pelipur lara. Gadis bernama lengkap Serena Latifa tersebut memliki keterbatasan dalam bicaranya. H...