Kalian tak akan pernah tahu seberapa dalam kalian melukai orang, sampai kalian menjadi orang tersebut. Dan kalian tidak akan pernah bisa melakukan itu.
***
Pasca pertemuan tidak sengaja dengan adiknya pagi hari tadi, gadis itu diam-diam mencari informasi tentang bangsal dan keadaan adiknya. Dan di sinilah dia sekarang dengan bantuan dari salah satu perawat ia sudah berada tak jauh dari bangsal adiknya. Tak ada keberanian untuk mendekati pintu itu, ia hanya menunggu dan hanya untuk memastikan bahwa Latifa benar-benar berada di sana. Sebuah rencana sudah tersusun rapi dalam otaknya, Matanya memicing saat seorang laki-laki baru saja melewatinya dan berhenti di depan pintu kamar itu kemudian mengetuk sebelum seseorang dari dalam sana membuka pintu.
"Mas Re?" Gumamnya pelan. Ia sangat siapa orang itu, sebersit tanya kemudian muncul di benaknya tentang apakah adiknya dan Rehan saling kenal. Tentu saja, itulah makanya laki-laki itu berada di sana sekarang. Ia menjawab sendiri pertanyaannya. Lantas apa hubungan mereka? Farah mengeyahkan pikirannya dan fokus untuk rencananya saja.
Tak lama Rehan keluar dengan membawa serta Latifa, ada seberkas senyum yang terpatri di bibir Rehan yang tak bisa ia maknai. Ia kembali mengangkat koran untuk menutupi wajahnya agar tidak ketahuan.
"Pak bos hari ini mau ngapain di rumah sakit?"
Itu? Suara itu? Apa itu benar-benar suara adiknya? Farah tiba-tiba mematung. Ia melihat kemana dua orang itu akan pergi dan diam-diam mengikutinya dari jauh. Tantu saja ia tak akan berani memunculkan diri saat ini. Selain karena ia sudah berjanji pada Latifa, Farah tidak menemukan alasan yang pas jika ditanyakan hubungan apa yang dimilikinya dengan gadis itu. Kesalahan yang sama tak mungkin ia lakukan dua kali. Bukankah manusia itu harus belajar dari yang sudah-sudah? Ia sangat ingat bagaimana tatapan mata penuh luka Latifa ketika ia menyebut adiknya adalah anak dari pembantu di rumahnya.
"Farah?" Farah menoleh, melihat asal suara yang memanggil namanya. Tahu siapa yang memanggil ia menatap laki-laki itu sinis.
"Sedang apa di sini?" Tanya laki-laki tersebut.
"Sedang makan." Jawabnya ketus.
Fahreza berdecak sebal mendengar jawaban dari gadis di depannya tersebut. Ia tahu bahwa Farah masih marah dengannya. Jika ada yang bilang Fahreza itu ketus dan nyelekit, maka ada yang bisa mengalahkannya yaitu Farah. Farah itu judes, tapi cantik, bar-bar, dan ngomongnya selalu lupa disaring. Namun hal tersebut hanya kepada Fahreza seorang, tidak kepada orang lain. Gadis itu seperti mempunyai kepribadian ganda, menurut Fahreza. Farah akan menjadi penurut, murah senyum dan sangat baik jika kepada orang lain. Walaupun kadang-kadan gadis itu juga baik kepadanya. Kadang-kadang.
"Mas, aku mau kembali ke kamar?" Seru Farah setelah terdiam cukup lama.
Fahreza tahu akan maksud adik sahabatnya tersebut, akhirnya membantu mendorong kursi roda Farah dengan senang hati. Sepanjang perjalanan mereka, merka hanya terdiam. Tak ada yang buka suara sampai akhirnya Farah sedikit merintih karena bagian perutnya sedikit nyeri.
"Sakit." Gumamnya pelan.
"Dimana yang sakit?" Fahreza berhenti dan berjongkok di depan gadis itu menyamakan tingginya.
"Kayaknya sedikit lapar." Jawabnya ringan, tidak meringis lagi melainkan memasang wajah tanpa dosa.
Fahreza melorotkan bahunya tak habis pikir, bisa-bisanya gadis satu ini bercanda dengan keadaan seperti itu. Ia menatap Farah tajam penuh intimidasi. Tentu saja gadis itu tak merasa demikian sedkit pun justru terkekeh karena bisa membuat Fahreza kesal. Oh jangan lupa bahwa itu adalah hobinya dari dulu. Akan tetapi masalah perutnya yang sedkit nyeri tidak bohong, hanya saja nyeri itu disebabkan karena ia lapar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jangan Buang Aku, Ayah!
Fiksi UmumSeperti halnya uang. Bahkan ketika lusuh sekalipun kau akan tetap berharga. Sekalipun dibuang oleh keluarganya, Serena menemukan keluarga baru sebagai pelipur lara. Gadis bernama lengkap Serena Latifa tersebut memliki keterbatasan dalam bicaranya. H...