BAGIAN 42

74.1K 7.4K 231
                                        

Angin sepoi-sepoi menyapu  wajah yang tengah memejamkan mata merasakan lembutnya sang angin yang tak pernah nampak. Hanya ada gemercik air yang berasal dari kolam ikan tak jauh dari gazebo. Siang ini langit lebih cerah, matahari bersinar terik tanpa malu-malu dengan awan putih bersh bagaikan kapas di atas sana. Ingatan tentang hari kemarin kembali berputar dimana dengan jelas ia melihat Serena menghindarinya saat gadis itu dan juga gadis yang mengamit tangannya masuk di loby rumah sakit. 

Lamunannya buyar saat seseorang menyentuh pundaknya dari belakang. Ia segera menoleh melihat siapa gerangan dan ternyata ayahnya, tumben sekali wisnu berada di rumah saat hari kerja siang begini. 

"Apa yang anak ayah pikirkan, hm?" Wisnu duduk di samping Farah memeluk bahu anaknya penuh kehangatan. 

"Ayah," Lirih Farah menjatukan kepalannya di pundak sang ayah namun pandangan masih tetap menengadak ke langit sana. "Ayah, ayo kita bawa Latifa kembali." Ungkapnya. Tubuh Wisnu menegang.

"Ayah, aku tahu ayah sudah mencari tahu tentang gadis itu. Tapi Ayah, tidakkah ayah merasa bersalah setelah apa yang sudah kita lakukan kepadanya? Aku merasa sangat buruk sebagai kakak, aku tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan, yah. Aku dari dulu mencari jejaknya tapi tak pernah ada informasi apapun tentang itu semua. Namun akhirnya dia datang dengan sendirinya membawa asa saat harapanku untuk hidup itu kecil. Aku semakin merasa buruk. Kak Diaz pun demikian, ayah tidak tahu betapa tersiksanya anak laki-laki ayah selama bertahun-tahun."

"Apa maksudmu, Farah?" Tanya Wisnu datar.

Farah menelan salivanya, "Ayah tahu kenapa Kak Diaz meminta agar nama panggilannya dirubah dari Refan menjadi Diaz? Penyebabnya karena ia selalu mimpi buruk, yah. Mimpi yang selalu menyiksanya karena ia mendengar rintihan anak kecil memanggil namanya dengan dengan sebutan itu. Hampir setiap malam Kak Diaz tidak tidur dengan tenang, yah. ia dihantui rasa bersalah." Farah sudah berurai air mata. "Aku tahu ayah menghalangi Kak Diaz untuk mencari gadis itu. Tidakkah ayah menrindukan Kak Diaz yang hangat?" 

"Sepertinya keadaanmu masih belum stabil, Farah. Ayah tidak tahu apa yang sedang kamu bicarakan."

"Jangan pura-pura tidak tahu, ayah!" Teriak Farah. "Kemana hati ayah? Dia juga anak ayah. Dia adik kami. Jangan buat kami lebih buruk daripada ini, yah. Karena keegoisan ayah kita bisa kehilangan segalanya!" 

Mereka tidak sadar jika seorang wanita dan juga laki-laki berbeda usia mendengar pembicaraan mereka. wajah wanita itu sudah sembab, tubuhnya bergetar hebat dan hampir saja ambruk di lantai jika Diaz tidak dengan tanggap menangkap tubuh itu. Lalu menuntunnya hingga ke kamar. Meskipun Diaz masih bisa menangani ibunya, dia sendiri juga tidak dalam keadaan baik-baik saja. Selama ini ia selalu mengacuhkan Farah, menganggap perkataan adiknya itu sebagai omong kosong belaka. Hari ini ia memutuskan untuk pulang ke rumah, setelah selama ini ia menyendiri karena ia tak bisa memecahkan keadaan yang menurutnya terlalu rumit untuk bisa dipahami oleh akal sehatnya. 

***

Semalam Farah terus memutar otak untuk bisa bertemu dengan Serena. Secarik kertas sudah berada dalam genggaman, menatap nanar pada deretan tulisan berisikan alamat yang ia minta pada Fahreza. Awalnya ia meminta laki-laki tersebut untuk bisa mempertemukannya dengan Serena. Namun tak menyangka dengan jawaban yang diberi. Laki-laki itu menjelaskan bahwa ia pernah mengunjungi Serena di rumahnya, tapi mereka menolak untuk sekedar menemuinya. Bahkan Tariq yang merupakan ayah Serena memintabdokter yang berbeda di rumah sakit untuk anaknya.

Farah meremas kertas tersebut, percuma ia mendapatkan alamat. Keyakinan akan penolakan Serena terhadapnya hampir seratus persen. Hatinya semakin sakit, namun satu hal yang ia sadari bahwa mungkin sakitnya ridak ada apa-apanya dibanding dengan Serena yang jauh lebih menderita. Satu ide kemudian terlintas dibenaknya, walaupun tak yakin tapi ia tetap akan mencoba. Melalui seseorang ia mungkin akan bisa menemuinya.

Jangan Buang Aku, Ayah!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang