BAGIAN 47

70.3K 6.6K 57
                                    

Rehan termenung di kamarnya setelah tadi di seret oleh Diaz setelah makan siang bersama, ia hampir--bukan. tapi sudah salah paham pada laki-laki itu tentang siapa ia dan sedang apa ia di rumah Serena. Kemudian Diaz membawanya pada sebuah cafe dan mengobrol banyak di sana. Tentang masa lalu yang tak pernah ia sangka bahkan ia anggap sebagai keluarga paling tega untuk ukuran gadis kecil yang baru berumur tujuh tahun. Ia hampir menangis jika saja tak ditahan mati-matian membayangkan seorang anak kecil yang dibuang begitu saja oleh keluarganya kandungnya sendiri. Diaz menjelaskan semua bahkan tetang kebrensekannya memukul gadis kecil itu dengan tangannya sendiri.

Rehan sendiri sempat tersulut emosi meski itu masa lalu, jika saja ia tak mengingat bahwa mereka sedang di tempat umum tentu saja dia tidak akan segan untuk melayangkan satu dua pukulan meski itu tidak akan mengubah masa lalu Serena. Sekarang ia paham kenapa Serena sering tegang ketakutan bahkan sampai tak sadarkan diri ketika bertemu dengan Diaz. Pun dengan Farah yang meminta bantuannya berhari-hari yang lalu. Benang kusut dalam otaknya tentang Serena sudah mulai terurai, simpul-simpul rumit sedikit demi sedikit bisa ia lepas dengan begitu mudah. Sejujurnya ia masih tak habis pikir tetang apa yang salah dengan keluarga sahabatnya itu. 

Pada satu sisi, Rehan cukup bangga Serena yang mampu bertahan sampai dengan sekrang. Ia tidak tahu cerita bagaimana Fatmah bertemu dengan anak tersebut hingga merawatnya dengan menjadi gadis luar biasa. Mengenai suara Serena, menurut informasi yang ia dapat dari Diaz bahwa gadis itu tidaklah cacat dari lahir. Setidaknya Diaz ingat bahwa adiknya itu pernah menangis beberapa kali hingga akhirnya suara itu menghilang yang tak ia tahu penyebabnya apa. 

Rehan sudah merebahkan diri di atas ranjangnya, namun pintu kamarnya di ketuk dari luar sana. Seolah sudah tahu siapa yang datang bertandang, ia tetap diam di tempat dan hanya suaranya saja yang memberikan perintah.

"Masuk saja, Ma!" Ujarnya. Pintu pun terbuka menampilkan Andara di sana dengan cengiran tak bersalah bahwa ia menganggu anaknya. Toh Rehan tidak pernah protes!  Itu pemikiran Andara.

"Kamu kenapa udah baring jam segini. Biasanya kamu pacaran dulu dengan kertas-kertasmu." Sindir Andara.

"Mama daripada nyindir-nyindir gitu mending mama istirahat." Dengus Rehan sebal. 

"Kata ayah kamu, masalah kantor sedang panas-panasnya, ya, nak?" Tanya Andara. Andara tidak mau anaknya menjadi stress gara-gara urusan kantor. Ia sempat mengomeli mantan suaminya itu untuk tidak membebankan Rehan dengan pekerjaan yang teelalu berat.

"Semua udah selesai kok, Ma. Mama tidak usah khawatir." Rehan memberi pengertian. "Sekarang tinggal mencari kekurangan tim, karena ternyata yang terlibat beberapa dan beberapa mau tidak mau harus di berhentikan." Jelas Rehan. Andara mengangguk paham. 

Rehan duduk dari bebaringannya melihat Andara penuh arti, Andara yang tahu akan maksud anaknya langsung mengubah posisi duduknya menjadi di samping Rehan, mengikuti Rehan bersandar pada sandaran ranjang. Saat-saat seperti ini, Rehan biasanya kan bercerita. Umur Rehan tidak bisa dikatakan muda lagi, akan tetapi tidak malu untuk bercerita kepada wanita wanita yang sudah melahirkannya. Hal itu tidak terlepas dari didikan Andara untuk membuat anaknya selalu nyaman. Andara menyadari cacat dalam pernikahannya mungkin berdampak pada Rehan kehilangan sosok seorang ayah walaupun hubungan mereka tetap baik-baik saja. Jadi ia sebisa mungkin untuk ada buat anak semata wayangnya.

Cerita Rehan mengalir bagaikan air sungai tanpa bebatuan. Andara meneteskan air mata ketika mendengar cerita tersebut dan tak pernah menyangka hal tersebut terjadi pada orang yang dikenalnya dengan baik. Apa kabarnya jika ia mendengarnya dari versi Serena, mungkin ia tidak akan pernah sanggup untuk mendengarkan semuanya. 

***

Hari-hari berlalu, Serena mulai sedikit terbuka kepada Diaz. Laki-laki tersebut tak pernah absen untuk mengunjungi rumah tempat adiknya tinggal meskipun hanya mampir sejenak setelah ia pulang kerja dan Fatmah dan Tariq sama sekali belum pernah mengajaknya bicara bahkan sekedar bertukar kabar saja. Namun Serena tetap menyambutnya dengan baik, membalas pesannya walaupun singkat dan sangat formal. Namun ada sudut hatinya yang tercubit ketika tak pernah kalipun Serena memanggil namanya atau menyebutnya kakak. Diaz tak memaksa hal tersebut, karena dengan Serena menerimanya saja ia sudah sangat bersyukur.

Hari ini ia berjanji akan membawa gadis itu jalan-jalan entah kemana, Diaz belum punya rencana. Yang terpenting Serena menyetujui ajakannya tersebut. Tentang akan kemana mereka akan ia pikirkan nanti. 

Ketika ia sudah di depan gerbang tersebut, ternyata Serena sudah rapi dengan gamisnya, namun gadis tersebut hanya sendirian. Tidak ada Ghea seperti yang ia bilang sebelumnya di pesan tadi malam.

"Assalamualaikum," Sapanya turun dari mobil. 

"Wa'alaikumussalam," Jawab gadis tersebut dengan senyum simpul.

"Ghea mana, dek?" Tanya Diaz.

Serena masih sedikit asing dengan panggilan adik yang disematkan oleh Diaz. Namun ia tak pernah protes akan hal tersebut dan mengikuti alur saja sekaligus membiasakan diri. "Ghea ikut Umi keluar, karena Abi harus keluar kota siang tadi." Jelas Serena.

Diaz membukakan pintu mobilnya untuk Serena, kemudian dia memutar masuk duduk di sebelah gadis tersebut. "Kita mau kemana?" Tanya Diaz akhirnya karena ia juga bingung.

"Nggak tahu. Mau kemana memangnya?" Tanya Serena ikut-ikutan bingung. 

"Mau ke puncak?" Tawar Diaz walaupun ia sendiri tidak yakin karena ini jam-jam macet ditambah weekend pula.

Serena menggeleng, "Aku tidak mau meninggalkan Umi. Abi sedang tidak di rumah." Lirih Serena tidak enak karena harus menolak. Tapi mau bagaimana lagi ia benar-benar tak mau meninggalkan Fatmah apalagi dengan kondisi hamil diusia yang cukup rawan. Serena itu mirip dengan Tariq kalau kata Fatmah. Selalu cerewet untuk ini dan itu, tidak boleh ini, tidak boleh itu. Namun Fatmah tak pernah benar-benar protes karena ia juga menikmati bagaimana kasih sayang Serena kepadanya. 

"Mau bertemu Farah?" Tanya Diaz. Sebenarnya ini ide yang sempat terlintas dalam otaknya. Jika Serena menolak ia juga tidak akan memaksa. Serena sempat melihat Diaz sejenak sebelum akhirnya menganggukkan kepala. "Farah ada di apartement, kita jemput dia dulu." Kata Diaz lagi.

"Kalau begitu di sana saja. Ini hari minggu, sudah panas juga tempat-tempat pasti ramai." Diaz cukup kaget dengan permintaan Serena untuk tinggal di apartemennya saja hari ini. Ia tidak dapat menyembunyikan senyumnya dan mengangguk semangat dengan ide adiknya itu. Biarlah, nanti dia akan memasak untuk kedua adiknya. Hari ini mungkin akan sangat membahagiakan. Ia memutuskan untuk tidak menghubungi Farah biar menjadi kejutan untuk adiknya yang sedang menunggu di apartemen dan mungkin sedang merajuk karena sebelumnya Farah merengek untuk ikut. Namun ia beralasan keluar dengan seseorang yang spesial. Ia meminta Farah untuk hari ini saja tidak mengganggunya. Tapi ia tidak bohong sepenuhnya dengan mengatakan ia akan keluar dengan orang yang spesial, bukan? 

***

Setelah perjalanan selama kurang lebih tiga puluh menit mereka lalui dengan drama kemacetan ibukota, akhirnya mereka sampai pada basement apartemen. Serena segera turun dan mengikuti langkah Diaz menuju lift di basement tersebut yang akan membawa mereka pada lantai apartemen Diaz. Sejk mereka memutuskan untuk ke apartemen laki-laki itu tak ada lagi kata yang mengisis perjalanan mereka. Serena masih merasakan kecanggungan seperti biasa.

Lift berhenti pada lantai delapan gedung tersebut, kemudian Diaz kembali menuntun adiknya menuju sebuah pintu yang tak berbeda dengan pintu yang lain, hanya nomor yang tertera di pintu pintulah yang berbeda. Serena berdiri di belakang Diaz menunggu laki-laki tersebut memasukkan kode untuk membuka pintu di depan mereka. 

beberapa detik kemudian pintu terbuka, ruang maskulin khas seorang laki-laki menyambut Serena. Gadis tersebut mengedarkan pandangannya ke seluruh tempat hingga matanya menemukan hal yang berbeda dari apartemen tersebut. Ada satu pintu dengan sentuhan girly dimana ada sebuah papan kecil nama pemilik kamar berwarna pink menggantung di sana. 

"Duduk dulu." Pinta Diaz kepada Serena yang masih berdiri menunggu instruksi darinya. 

Gadis itu pun mengikuti tanpa membantah sampai pintu yang sempat menarik perhatiannya terbuka. Sosok Farah berdiri di sana, mata mereka bersitatap beberapa saat sebelum Farah menatap horor pada kakaknya yang membawa segelas air putih untuk Serena yang duduk di Sofa.

"Apa yang kakak lakukan?!" Pekik Farah, mengejutkan kedua orang tersebut.

Diaz mengerutkan dahinya tak mengerti, bukankah seharusnya Farah senang karena selama ini Farah yang selalu meyakinkannya bahwa Serena adalah adik mereka?

***

Tbc

Jangan Buang Aku, Ayah!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang