BAGIAN 12✔️

86.6K 8.1K 124
                                    

Keringat dingin menyergap tubuh Serena yang tertutupi gamis panjang. Ia menggeliat tak nyaman di tidurnya. Sesekali mulut terbuka hendak mengerluarkan suara yang entah tentang apa. Ada ketakutan di sana, bisa jadi ia terjebak dalam mimpi yang sudah lama tak pernah bangkit lagi.

"Serena," Uminya mengusap lembut pipi yang kian memucat itu. Tak tahan melihat putrinya seperti itu ia pun mengguncang tubuh Serena agar gadis itu bangun. Akan tetapi bukannya sadar Serena justru terkulai tak lagi ada gerakan.

"ABI!" Teriak perempuan paruh baya yang memanggil suaminya. Tak lama sosok laki-laki yang tadi dipanggil muncul dari balik pintu sama khawatirnya dengan dirinya.

Seolah hal itu sudah biasa, tanpa kata sang suami langsung mengangkat tubuh Serena menuju mobil yang masih terparkir di garasi rumah. Hari masih gelap, bahkan subuh pun masih dua jam lagi. Tariq—suaminya, mengendarai mobil dengan kecepatan diatas rata-rata. Untung saja jalanan lengang sehingga mempercepat mereka sampai di rumah sakit.

Sesampainya di tempat tujuan, Tariq kembali menggendong tubuh terkulai tersebut. Wajahnya panik menyirat kekhawatiran luar biasa. Hanya saja ia tak ingin menunjukkan kepada istrinya yang tak kalah panik dengannya. Tulisan UGD terpatri jelas di atas pintu masuk

Perawat yang melihat mereka pun langsung menyuruh Tariq meletakkan tubuh Serena di atas brangkar. Mereka di suruh untuk menunggu di luar. Tangan Fatmah gemetar karena cemas bercampur khawatir. Tariq yang melihat hal tersebut mengambil tangan istrinya untuk digenggam erat menyalurkan ketenangan.

"Umi, Serena baik-baik saja. Umi tenang, ya." Ucapnya lembut.

"Anakku di dalam belum tahu kondisinya, Abi." Fatmah melihat suaminya intens. "Abi bisa tenang karena Abi nggak pernah anggap dia sebagai putri Abi." Lagi-lagi Fatmah mengungkit masalah tersebut. Bukan tanpa alasan Fatmah berkata demikian. Sejak Serena kecil Tariq memang sedikit membuat jarak dengan gadis itu. Alasannya karena ia tidak ingin bergantung kepada Serena, karena takut jika gadis itu akan meninggalkan mereka setelah dewasa. Tidak berdasar memang, tapi dengan kondisi ia dan Fatmah yang divonis tidak bisa mengandung, pasti istrinya itu akan sangat terluka jika sewaktu-waktu gadis yang teramat sangat Fatmah sayangi itu pergi. Namun nyatanya sampai detik ini gadis itu masih bersama mereka.

Tariq langsung membungkam mulutnya tak ingin berdebat panjang dengan istrinya. Hanya helaan nafas yang bisa ia lakukan, ia pun menjatuhkan bokongnya dengan di kursi tunggu. Sementara Fatmah masih berdiri, mulutnya tak henti-hentinya melantunkan dzikir sebagai penenang hati.

Lima belas menit kemudian dokter serta perawat yang memeriksa Serena keluar. Fatmah langsung saja menghampiri mereka dengan segenap asa yang tercipta bahwa putrinya baik-baik saja.

"Bagaimana keadaan anak saya dokter?" Tanyanya cepat.

"Kondisinya baik, bu. Ibu dan bapak tenang saja. Apa hal ini sering terjadi?"

"Beberapa kali pernah terjadi, dok. Anak kami sering mimpi buruk yang membuat tubuhnya bereaksi berlebihan. Setelahnya tubuhnya seolah orang tidak sadarkan diri." Bukan. Bukan Fatmah yang menjawab melainkan Tariq. Fatmah yang mendengar hal tersebut melihat suaminya penuh makna.

"Bisa kita bicara di ruangan saya? Oh iya, Saya Dokter Helmi." Dokter tersebut memperkenalkan diri dengan menjabat tangan Tariq.

"Saya Tariq dan ini Fatmah, istri saya."

Mereka sudah berada di ruang Dokter Helmi, dokter umum yang bertugas di IGD.

"Jadi dokter, apa putri kami baik-baik saja?" Fatmah tidak sabar memberondong pertanyaan yang membuatnya khawatir.

"Sejauh ini baik-baik saja, bu. Dari diagnosa awal kami, sepertinya hal ini ada kaitannya dengan psikologis anak ibu dan bapak."

Wajah Fatmah langsung muram tak terima. "Maksud dokter?"

Jangan Buang Aku, Ayah!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang