Serena baru saja sampai di sebuah rumah makan tempat ia akan bertemu dengan Diaz dan Delia. Hatinya mendadak gusar saat baru keluar dari mobil yang membawa mereka sampai pada tempat ini. Keresahan dan ketakutan nampak jelas pada mata bening yang terbiasa penuh binar. Ia mengeratkan pegangannya pada lengan Fatmah seiring dengan langkah mereka yangbsemakin mendekat ke arah private room sesuai dengan pesan yang di kirimkan oleh Diaz sebelumnya.
Sudah berkali-kali Fatmah mengingatkan agar Serena jangan takut karena ia tidak sendiri. Serena kembali menghirup udara sebanyak yang ia bisa untuk menenangkan gejolak rasa yang ada, yang ingin menguasai diri dan mungkin akan di luar kendali jika itu terjadi. Masih ada keraguan dalam hati gadis tersebut, namun ia sadar bahwa semuanya harus selesai--selesai dalam artian semuanya akan hidup dalam damai dikemudian hari.
Pelayang yang tadi menuntun mereka sampai pada salah satu ruangan tertutup sudah membuka pintu dan melihat dua orang yang duduk bersisian di sekitar meja bundar di depan mereka. Senyum sendu Diaz terpatri di wajahnya,elihat Serena datang dengan ditemani seorang wanita yanh sudah tak asing lagi dimatanya.
Diaz tidak menyangka jika adiknya akan membawa serta Fatmah dalam pertemuan mereka. Namun hal itu tidak menjadi masalah, jika itu yang membuat adiknya bisa tenang ia akan menurut saja. Serena mau menerima tawarannya saja ia sudah sangat bahagia.
"Assalamualaikum." Sapa Serena dan Fatmah berberengan, mereka sempat saling lihat dan melemparkan senyum simpul.
"Wa'alaikumussalam," Jawab Diaz dan juga Delia yang menjawab kecil seakan tak sadar karena sejak tadi tatapannya jatuh pada Serena yang tumbuh sehat. Ia tidak menyangka jika anak yang ditemuinya di rumah sakit kala itu, adalah anaknya. Wajar saja Serena berdiri ketakutan melihat kedatangan mereka waktu itu.
Delia sudah berdiri dari duduknya ketika gadis itu menyalami tangannya seperti apa yang dilakukan pada Diaz. Delia hensak memeluk Serena, namun apa yang dilakukan gadis itu selanjutnya membuat hatinya sedikit tersentil kecewa. Serena menarik diri ke belakang bahkan sedikit bersembunyi di balik tubuh Fatmah.
Dengan cepat Diaz mengambil tangan Delia, menuntunnya untuk duduk kembali dan mempersilahkan dua orang yang masih berdiri di depan mereka untuk duduk.
Mata Serena bergerak gelisah dan waspada seiring dengan akal pikirannya yang memberontak ingin menguasai keadaan.
"La-latifa," Suara Delia sedikit tercekat ketika mengucap nama tersebut."Serena, panggilnya Serena." Kata Serena dengan cepat, saking cepatnya ia sendiri tidak sadar bahwa ia yang mengucapkan hal tersebut. Ketika panggilan Latifa itu terucap oleh bibir itu, Serena seolah tak ingin mendengarnya. Ia tidak mengerti ada apa dengannya, padahal Farah juga memanggilnya dengan sebutan yang sama tapi ia tak pernah protes akan hal itu.
Delia mengangguk, "baik. Serena, Serena, apa kabar...nak?" Tanya Delia.
"Sehat." Kata Serena pelan, ia menekan akal pikirannya agar tetap waras sebab jika tidak ia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Dibandingkan dengan ayahnya yang dengan tega membuangnya. Rasa kecewanya yang paling besar adalah kepada ibunya sendiri. Wanita di depannya ini tidak pernah sekalipun membelanya, memberikan haknya sebagai seorang anak yang sangat membutuhkan dekapannya kala itu. Membutuhkan pelukan yang kata orang hangat.
"Serena masih ingat ibu, nak?" Tanya Delia lagi.
Serena mengangguk, "aku tidak pernah hilang ingatan sejak kalian....buang. Walaupun aku ingin." Tidak. Serena tidak mengatakannya dengan nada ketus, ia mengucap kalimat tersebut dengan wajah yang menunduk dan suara kecil namun masih terdengar oleh ketiga orang yang berada di samping dan depannya saat ini.
"Maafkan ibu, Serena." Kata Delia tidak tahu harus bicara apa. Hatinya mencelos mendengar Serena berkata terang-terangan seperti itu.
Serena tersenyum pedih, air matanya sudah jatuh meski ia tahan sepenuh hati. Ia mengangkat kepalanya dan melepas tangannya pada lengan Fatmah. "Akhir-akhir ini aku sering mempertanyakan apa arti maaf yang sebenarnya. Karena ketika aku bilang memaafkan, tapi di sini kenapa masih sakit? Sangat sakit sampai rasanya aku ingin menyerah." Ucapnya sambil menunjuk dadanya yang terasa nyeri. "Ketika aku bilang aku memaafkan, seharusnya di sini sudah tidak sakit, bukan?" Tanyanya, retorik. "Aku tersiksa bukan karena kalian buang, tapi karena aku bingung bagaimana lagi aku harus menjelaskan agar akal sehatku mengerti bahwa aku tidak kalian butuhkan."

KAMU SEDANG MEMBACA
Jangan Buang Aku, Ayah!
Algemene fictieSeperti halnya uang. Bahkan ketika lusuh sekalipun kau akan tetap berharga. Sekalipun dibuang oleh keluarganya, Serena menemukan keluarga baru sebagai pelipur lara. Gadis bernama lengkap Serena Latifa tersebut memliki keterbatasan dalam bicaranya. H...