Serena duduk termenung memeluk lulutnya di teras kamar. Wajahnya sendu dan sesekali berubah tegang karena pikirannya yang sedang tidak baik-baik saja. Dua minggu lagi ia akan menerima hasil atas sejumlah pemeriksaan kesehatan yang dilakukannya kemarin. Ia menengadah ke langit gelap bertabur bintang, ada segelintir asa yang terlintas dari tatapannya yang teduh. Kenangan masa lalu masih saja ikut membayang seperti duri yang enggan menghilang. Masa lalu yang memenjarakannya, hingga kadang ia berpikir untuk menyerah. Mungkin di depan bayak orang ia akan terlihat baik-baik saja. Itulah kenapa ia tidak terlalu suka menyendiri.
Ketika ia tersadar karena air bening yang berasal dari mata mengalir sudah menganak sungai di pipi, dengan cepat ia beristighfar, untuk menguasai dirinya sendiri. Tiba-tiba dadanya seperti diremas hingga pecah berkeping-keping. Mulutnya mengap tak bisa mengeluarkan suara. Pelan-pelan ia memukul dadanya yang bagai terhimpit oleh batu berton-ton. Setelah beberapa saat merasakan sakit yang luar biasa, ia sedikit tenang seiring rafalan dzikir terus terucap dari bibirnya meski tanpa suara.
Tak ada yang tahu bagaimana ia mengalami malam-malamnya yang sesak. Tak ada yang tahu bagaimana sakitnya terpenjara oleh masa lalu yang kelam, yang kerap merenggut kesadaran yang ia harap tak pernah datang. Tak ada yang tahu tentang ketakutan yang menyergap setiap kali malam menjelang atau saat matahari akan tenggelam.
Serena berpindah ke dalam kamar, menutup kembali pintu yang menghubungkan kamarnya dengan teras. Mengubur diri dalam selimut dengan harap kenangan masa silam tertinggal di mimpi. Cukup itu impian sederhananya saat ini dan nanti. Sehingga ia bisa menjalani harinya seperti layaknya orang normal.
Hari Selasa pagi, langit cukup berawan antara hujan akan turun atau hanya mendung. Karena sampai jam 10 pagi ini, mentari masih setia bersembunyi di balik gumpalan awan kelabu. Walaupun demikian tak menyurutkan semangat para karyawan di lantai lima tersebut.
Rehan sudah bertengger di kursi kebesarannya dengan sejumlah dokumen-dokumen yang perlu untuk ditandatangani. Tabita izin tidak masuk hari ini, karena mengurus anaknya yang sedang sakit.
"Masuk," Pintanya ketika suara ketukan pintu terdengar.
Dari balik pintu tersebut, ada Serena yang menyembulkan kepala sambil nyengir kuda entah karena apa. Serena melangkah pelan, membiarkan pintu tetap terbuka. Beberapa menit ia berdiri tapi tak mendapat respon dari sang bos besar yang seolah ditelan oleh dokumen yang menumpuk di depannya, ia pun mengetuk meja barulah Rehan mengangkat wajahnya.
Ia cukup terkesiap dengan kehadiran Serena yang sudah berdiri lima langkah dari meja. Sesaat ia diam terpaku dengan wajah teduh nan polos itu. Namun, cepat-cepat ia berdeham dan menyuruh Serena untuk bicara.
"Maaf, Pak. Saya hendak izin mengakses proposal proyek yang pernah dibuat sebelum proyek ini."
Rehan mengangkat kedua alisnya, tak cukup paham kenapa harus menggunakan proposal proyek sebelumnya padahal tak berkaitan. Ia menutup map di depannya, menautkan kedua tangan.
"Untuk apa?" Tanyanya. Wajahnya berubah datar.
"Hanya sebagai perbandingan, Pak."
"Kurasa tak perlu mengingat proyek-proyek tak saling berkaitan." Kali ini Rehan menyenderkan punggung di sandaran kursi dengan tangan terlipat di depan dada.
"Tapi saya perlu. Saya perlu bukan hanya proyek yang berhasil tapi juga untuk proposal proyek yang ditolak atau tidak jadi di kerjakan." Serena bersikeras. Namun, wajahnya begitu tenang.
"Kerjakan saja apa yang saya suruh. Kenapa harus menggunakan yang telah lalu. Kamu ini tipikal orang susah move on." Tukas Rehan tak mau kalah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jangan Buang Aku, Ayah!
General FictionSeperti halnya uang. Bahkan ketika lusuh sekalipun kau akan tetap berharga. Sekalipun dibuang oleh keluarganya, Serena menemukan keluarga baru sebagai pelipur lara. Gadis bernama lengkap Serena Latifa tersebut memliki keterbatasan dalam bicaranya. H...