Tiga laki-laki duduk di cafe seberang rumah sakit, siapa lagi kalau bukan Rehan, Diaz, dan Fahreza. Ketiganya berhasil menyita perhatian beberapa pengunjung karena pesona mereka tak bisa dibohongi lagi. Gadis mana yang tak ingin bergabung dengan mereka? Mungkin tak ada.
Asyik mengobrol, Diaz melihat rekan kerjanya, Aliya, ikut mengantri di barisan antrian. Mungkin perempuan itu membeli beberapa minuman. Aliya, diumurnya yang hampir menginjak kepala tiga belum juga melepaskan status lajangnya. Tidak sedikit dokter, baik yang masih koas maupun sudah lama yang mengejarnya. Hanya saja perempuan tersebut tak pernah menanggapi. Jawabannya selalu saja sama, 'aku sedang menunggu seseorang.' selalu begitu jawaban yang diberikan setiap kali ada yang menyatakan maksud dan tujuan. Tentu saja mereka akan mundur teratur.
"Aliya!" Seru Diaz. Ia cukup mengenal Aliya sebagai perempuan baik-baik dan tak banyak tingkah, pembawaannya ramah dan gampang bergaul kalau bahasanya kerennya friendly.
Merasa namanya dipanggil, Aliya memutar kepalanya ke kanan dan ke kiri mencari sumber. Sampai pada salah satu sudut, di sana Diaz melambaikan tangan ke arahnya. Aliya cukup terheran, Diaz bukan orang yang mudah dekat dengan orang lain, mungkin di rumah sakit laki-laki itu hanya tahu nama dan orangnya saja untuk rekan-rekannya. Selebihnya jarang sekali ada komunikasi diluar pekerjaan, itu info yang ia dapat dari para perawat dan juga dokter. Sedangkan dengannya, mereka tak terlalu saling mengenal. Beberapa kali mungkin mereka tidak sengaja berpapasan, dan kebanyakan pertemuan mereka adalah di seminar-seminar yang diisi oleh keduannya yang membuat mereka kadang kala mengobrol basa-basi. Jadi untuk dipanggil di depan umum seperti tadi, Aliya sedikit heran.
Setelah mengambil minumannya, baru perempuan tersebut menyambangi si pemanggil.
"Assalamualaikum, Dok." Sapanya ramah.
"Wa'alaikumussalam," jawab ketiga laki-laki itu kompak. Fahreza acuh tak acuh seperti biasa.
"Oh iya, kenalin ini Rehan." Tunjuknya kepada Rehan. "Han, ini Aliya, salah satu dokter umum."
Aliya langsung menangkupkan tangan di depan dada. "Halo Pak Rehan."
"Halo Dokter Aliya." Balas Rehan.
"Aliya saja, Pak."
"Kalo gitu, Rehan saja."
Keduanya tertawa ringan, Diaz pun demikian.
"Duduk." Tawar Diaz.
"Nanti saja, Dok. Saya harus segera kembali. Saya bawa titipan pasien." Ia mengangkat dua cup minuman.
"Lo sekarang ganti profesi jadi pesuruh?" Tanya Fahreza dengan wajah sarkasnya. Tidak, Aliya sudah biasa dengan sikap Fahreza seperti ini. Ia justru tertawa jenaka, tidak ada perasaan tersinggung atau semacamnya.
"Bukankah kita memang pelayan masyarakat, Dok?"
"Itu apa?" Tanya Diaz tertarik dengan salah satu cup yang berisi cairan putih pekat.
"Susu almond, Dok, buat Serena."
Memdengar satu nama itu Rehan segera berbalik. "Serena?" Tanyanya mendongak karena posisinya duduk dan Aliya berdiri.
"Iya, benar."
"Aku boleh ikut?" Tanya Rehan.
Aliya mengangkat alisnya.
"Aku atasannya dan sekarang sedang mencarinya."
Aliya sempat menangkap pelototan dari Fahreza.
"Boleh. Mari." Ajaknya.
Aliya dan Rehan berjalan beriringan, sesekali Aliya melempar tanya untuk sekedar mengisi keheningan. Sampai mereka berada di depan ruangan 503. Sebelum masuk, Aliya terlebih dahulu mengetuk pintu dan barulah kemudian ia membuka pintu.
![](https://img.wattpad.com/cover/175877424-288-k649759.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Jangan Buang Aku, Ayah!
Aktuelle LiteraturSeperti halnya uang. Bahkan ketika lusuh sekalipun kau akan tetap berharga. Sekalipun dibuang oleh keluarganya, Serena menemukan keluarga baru sebagai pelipur lara. Gadis bernama lengkap Serena Latifa tersebut memliki keterbatasan dalam bicaranya. H...