48 - Pisah Rumah

524 17 1
                                    

"Diandra." ucap Satria melihat sosok Diandra muncul didepan pintu kamarnya.

"Halo tante," sapa Diandra kepada Ajeng tanpa memperdulikan ucapan Satria.

Ajeng tersenyum, "sini Di," ajaknya.

Diandra tersenyum dan berjalan kearah Ajeng dan duduk disebelahnya.

Hening. Tidak ada yang memulai bicara. Satria sibuk menumpuk bukunya, tante Ajeng sibuk melipat pakaian Satria dan dimasukkan kedalam tas. Sedangkan Diandra memainkan jarinya bingung mau apa. Dan sesekali mengarahkan pandangan matanya kepada Satria yang ada didepannya.

"Kalau ada lomba diam-diaman. Tante yakin pasti kita punya potensi untuk menjadi juaranya." Ucap Ajeng tiba-tiba. Menyadari sikap aneh antara Diandra dan Satria yang sedari tadi hanya saling menukar pandangan tanpa menukar suara.

Diandra dan Satria saling menatap.

"Mama keluar dulu Sat, kalian bicara aja berdua. Selesaikan apa yang menjadi ganjalan dihati kalian." Pamit Ajeng bangkit dari duduknya, meletakkan selipat pakaian kedalam tas yang tadi belum sempat dimasukkan.

Diandra tersenyum kearah Ajeng. Sebelum dia benar-benar meninggalkan dirinya dan Satria berdua.

Sepeninggal Ajeng, Diandra dan Satria masih saja diam. Diandra tetap fokus memainkan jari-jari tangannya.

"Di," panggil Satria akhirnya, geram dengan suasana canggung yang tak kunjung reda.

"Iya?" Jawab Diandra antusias. Akhirnya apa yang Diandra nanti datang juga. Sedari tadi Diandra nenunggu satu kata atau satu kalimat meluncur dimulut Satria. Asal kalian tau, Diandra sebenarnya adalah tipikal orang yang tidak akan pernah bicara kalau tidak diajak bicara duluan. Kadang sih memang Diandra doyan omong, tapi nyatanya itu semua hanya pada lingkup orang terdekat disekitarnya, tidak untuk orang asing yang belum dia kenal. Mungkin banyak orang asing yang belum mengenal Diandra, beranggapan bahwa Diandra anaknya sombong karena tidak mau bicara. Tapi mereka salah besar, Bukannya Diandra sombong, melainkan memang Diandra adalah tipe orang yang bicara kalau ditanya, dan diam kalau di diami.

"Besok kamu ikut ngantar aku ke asrama?" Tanya Satria bangkit dan berpindah duduk disebelah Diandra.

"Enggak tau," ucap Diandra memggidikkan bahunya tak tau.

"Kok gitu, datang ya. Hitung-hitung ngasih semangat terakhir buat aku." Lirih Satria mencoba membujuk.

"Aku usahain." Singkat Diandra.

"Gitu banget sama pacar sendiri. Jangan gitu. Kesannya jadi enggak ikhlas." Omel Satria.

"Iya aku besok nyamperin kamu. Jam berapa? Dimana?" Jawab Diandra geram.

"Santai, santai. Nanti aku kirimin jadwalnya." Ucap Satria.

"Buat apa?" Tanya Diandra.

"Ya biar tau, aku berangkat jam berapa? Berangkat dari mana? Biar enggak nanya mulu." Jawab Satria menoel dagu Diandra.

"Oh." singkat Diandra ber-oh-ria.

"Pokoknya kamu wajib datang besok. Enggak ada alasan ini itu. Lagian sekolah kamu udah libur, urusan kuliahmu juga udah selesai. Jadi enggak ada kata enggak bisa datang. Sesekali, nyemangatin pacarnya. Toh, bentar lagi juga kita LDRan. Kangen nanti." Ucap Satria panjang lebar. "Pokoknya kalau kamu besok enggak datang, aku bakalan enggak jadi pergi. Aku bakal berangkat kalau aku udah lihat muka kamu dan besok jadi hari terakhir kamu lihat muka aku sebelum aku bener-bener botak." Lanjutnya menghembuskan nafasnya.

"Iya. Kamu kok bawel. Mau saingan sama aku? Bucin banget lagi bahasanya." Ledek Diandra.

"Biarin." Tegas Satria.

Diandra & Satria [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang