A Cup of Coffee

20 2 0
                                    


Sekarang belum terlalu larut malam. Moira masih terjaga di dalam kamarnya mengerjakan beberapa kisi - kisi soal ujian. Pintu kamarnya dikunci mengingat asisten rumah tangga di rumah sedang beristirahat di ruang mereka, papa dan mama juga belum pulang karena ada pertemuan. Jadi akan sangat berbahaya jika tiba - tiba Edwin yang tidak punya kegiatan itu muncul.

Firasat Moira tidak salah. Pintu kamarnya di gedor - gedor dengan keras dari luar. Siapa lagi kalau bukan abangnya yang super jahil.

Moira bergidik di depan meja belajarnya. Ia yakin kakaknya mulai jahil dengan mengetuk pintu kamarnya.

DUK DUK!!!

Suara ketukannya makin kencang."Bocah sialan keluar kamu!!!"

Moira tidak menjawab. Ia mendengar suara Edwin dengan ngeri. Ia akan pura - pura sudah tidur.

Edwin menendang pintu dengan keras. Membuat Moira kesal. Ia menghentakan ujung pulpennya ke atas permukaan buku belajarnya dengan kencang sehingga menimbulkan bekas titik hitam yang tebal. Ia melangkah ke arah pintu. Tapi ia tidak segera membukanya.

Tiba - tiba hening. Ia lega sekarang.

DOK DOKK DOKKK!!!

Gedoran Edwin justru makin kencang dan hampir membuat jantung Moira melompat keluar.

Moira segera membukakan pintu dengan kesal. Ia menemukan Edwin di depan kamarnya. Kusut dan berantakkan. Dasar pengangguran, umpatnya dalam hati.

"Bikinin aku kopi panas sekarang! Bikin yang panas - panas pake banget"

Moira tercengang untuk sesaat. Abang pikir disini warung? Malas berdebat. Ia juga tidak dapat menang melawan kakaknya itu. Kakinya melangkah cepat terdengar kesal menghentak - hentak ke lantai. Edwin mengikutinya di belakang dengan keangkuhannya.

Membuat kopi bukan hal sulit. Moira mencepol semua rambutnya dengan seikat karet gelang. Lalu mengecek ke dalam coffee maker memastikan penyaringnya sudah tersedia dan bersih. Yang menyulitkannya adalah mengambil cangkir kopi yang letaknya berada di barisan paling atas di dalam lemari.

Edwin bohong dan hanya mengejek Moi sebelumnya. Moira sangat kecil atau hanya terlambat berkembang. Ia ingin tertawa sekarang karna adiknya itu tidak sesempurna gadis - gadis yang pernah di pacarinya.

Pesanan Edwin sudah selesai. Moi menaruhnya di atas meja tepat didepan abangnya. Edwin dapat melihat uap yang mengepul di permukaannya. Ia tau itu pasti sangat panas.

Yang terjadi selanjutnya bukanlah hal yang baru tapi tetap hal yang tidak di inginkan bagi Moira. Moira bermaksud pergi tanpa menunggu pendapat abangnya.

"Tunggu!!"

Moira menoleh pada kakaknya. Ia melihat Ed mencoba melemparkan isi cangkir yang sungguh masih panas itu ke arah wajahnya.

Moira respek memalingkan wajahnya.

Ia mengerang. Kopi panas itu menerpa bagian belakang lehernya. Panas membara segera menyerang kulitnya.

"Uuups, kopinya tumpah.."kata - kata itu terdengar seperti sebuah ledekan.

Moira merunduk dan akhirnya terduduk, sakit di tengkuk lehernya seolah menjalar kesana - kemari dan membuatnya lemas. Ia merintih keras menahan panas di kulitnya.

"Ahh aku jadi ga mood ngopi lagi" keluh Edwin dan ia berjalan meninggalkan dapur tanpa rasa bersalah sedikitpun.

Edwin berpas- pas an dengan Alpha. Abang sulungnya baru pulang dari bekerja.
"Hai, apa kerjaan hari ini lancar?" Edwin berbasa basi.

"Berhentilah main- main atau kamu harus kembali ke luar negeri saja" balas Alpha. Ia tampaknya mengetahui terjadi sesuatu yang buruk di dapur. Ia mendengarnya saat memasuki rumah. Dan ia mengetahui adik laki - lakinya sedang berulah lagi.

H.O.M.E Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang