Pair of Rose

9 1 0
                                    

Rumah adalah tujuan Edwin hari ini. hatinya terasa lelah menahan rasa amarah dan cemburu melihat kebersamaan Jamie dan Dyon. Ia merasa tertipu, satu hari sebelumnya mereka bersama – sama menghabiskan waktu. Tapi kemudian Jamie sepertinya tidak berniat untuk membatalkan pertunangannya.

Rumahnya sepi. Hanya ada bi Jani dan bi Laras yang beristirahat. Yang ia cari tidak ada di rumah. Rumah itu benar – benar sepi.  Edwin menggotong- gotong bunga mawarnya menaiki tangga. Membuka pintu ruangan pertama yang ia dapati.

Pintu kamar Moira.

Edwin masuk tanpa izin pemiliknya. Ia mengelilingi ruang kosong itu. Kamar Moira rapi seperti biasa. Meski lembaran foto menempel di dinding bahkan di cermin, namun tidak membuatnya terlihat berantakan. Koleksi buku dan album musik tertata rapi di raknya masing – masing. Tempat tidurnya pun rapi. Edwin tahu Moira merapikannya sendiri, ia tahu Moira gadis yang baik tapi tetap membencinya. Hanya melihat senyum Moira membuatnya merasa sangat kesepian. Seperti sekarang. ia telah menderita karena Jamie dan ia lebih merasa  menyedihkan karena kesepiannya.

Ini bukan pertama kalinya, ia memang selalu kesepian sejak perpisahan kedua orang tuanya.

Ia menjatuhkan tubuhnya keatas tempat tidur. Ia mengumpat pada dirinya sendiri karena perasaan menyedihkan yang menghantuinya. Dan ia membenci dirinya sendiri yang tiba – tiba menangis disana. Serta tak ada yang peduli padanya. Hatinya yang terluka dan tak ada yang mengobatinya. Meskipun ada, ia tak pernah membiarkan orang yang ingin merawat luka itu mendekatinya.

Yang ia tunggu akhirnya pulang. Moira terkejut bukan main mellihat kakaknya meringkuk di atas kasurnya. Memberinya tatapan menakutkan. Hanya melihatnya ia tahu Edwin sedang dalam keadaan yang tidak baik. Abangnya sedang dalam mode pemburu yang menunjukkan peringatan Moira untuk segera pergi.

Moira melangkah mundur sambil memegangi ranselnya yang tadinya ingin ia taruh. Ia melihat Edwin beranjak dan bergerak cepat meraihnya.

“Sini kamu!!!!!” Edwin menjambak rambut panjang Moira dngan kasar.

“Moira ga ada salah kak!!” Moira mencoba melawan.

“Kenapa kamu baru pulang HAHH?!!!" Edwin tidak melepaskan jambakannya dan memaksa Moira menghadap kearahnya.

“Moi Les dulu” jawab Moira. Ia mencari alasan agar bisa kabur.

“Sok rajin lu!! Lo cuman anak sial tau ngapain les segala?!!” Edwin melepaskan Moira sambil mendorongnya hingga jatuh.

Moira tidak merasakan sakit apa- apa karena ia tidak terjatuh dengan keras. Ia berpikir keras akan cara keluar dari situasi ini.

“Tolong maafin Moira, Moira capek ngeladenin kak Edwin. Plisss kasih waktu Moi istirahat dulu!!”

“Semua ini gara – gara kamu!!! Seandainya kamu ga lahir semua kesialan ini ga bakal nimpa aku!!!” bentak Edwin. Suaranya lantang hingga terdengar sampai lantai dasar.

Lagi – lagi hal itu yang dibahas oleh Edwin. Moira merasa frustasi setiap kali mendengarya. Ia berusaha hidup dengan baik selama delapan belas tahun ini tapi kakaknya selalu menganggapnya sebagai biang kesialan di rumah itu.

Edwin berpaling melangkah menuju meja belajar Moira. Ia tampak mencari – cari sesuatu. Membuat Moira panik karena selain Edwin membuat mejanya berantakan tapi juga khawatir dengan apa yang akan di lakukan Edwin selanjutnya.

Kakaknya berbalik padanya dengan sebuah cutter di tangan kanannya.

Moira menggeleng – geleng pertanda ia tidak menyukai hal ini. Apapun yang akan di lakukan Edwin itu akan sangat menakutkan bagi Moira. Moira tidak dapat menahan tangisnya karena panik. “Kak Edwin mau apa??” suaranya gemetar.

H.O.M.E Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang