Dua orang pria mengangkut sebuah cermin besar dengan penuh hati – hati siang hari berikutnya. Mereka menaiki tangga dan menuju kamar pertama di lantai atas rumah keluarga Basit. Moira sudah menunggu di kamar dengan Bi Jani. Kamar itu sudah bersih dari serpihan cermin yang bertebaran di lantai. Mereka berdua memastikan tidak ada serpihan kecil yang tertinggal di kolong atau sudut lemari agar tidak ada yang terluka.
Cermin baru sudah diletakkan dengan aman. Sedikit lega namun takut jika Edwin berulah lagi. Bukan hanya Moira. Bi Jani juga was – was karena ia cukup lelah membereskan hasil perbuatan Edwin. Terlebih ia juga takut jika majikan kecilnya terluka. Ia sudah sangat syok melihat kamar Moira pagi ini, Alpha yang tidur di ruang tengah dan Moira yang terlihat bangun tidur keluar dari kamar Alpha. Bi Jani tidak tahu yang terjadi tadi malam karena ia cepat terlelap. Namun melihat Moira terlihat baik – baik saja membuatnya lega.
Bi Jani kembali ke paviliun belakang untuk melihat bi Laras sudah selesai menyetrika semua pakaian apa belum. Ia ingin membantu jika belum selesai.
Pemandangan disana membuat bi Jani mengeluh. Bi Laras malah melamun. Televisi yang sedang menyala bahkan tidak ia tonton, setrika ditangan kanannya hanya berdiri saja dan tidak bergerak.
“Lah.. malah melongo, Ras!!”
Bi Laras terkejut. ia langsung kembali menggerakkan tangannya membuat setrika bekerja pada jas hitam cokelat milik Alpha.
“Kok ngelamun terus kamu ini akhir – akhir ini?”
“Aku kayak pengen berhenti lo mba”
“Kok tiba – tiba sih?”
“Aku ga enak, ngeliat arek – arek”
“Edwin maksud kamu?”
“Bukan cuma itu”
“Moi sama mas Alpha ga ada masalah to, aku malah seneng kayaknya Moi sama mas Alpha akur”
Bi Laras terdiam. Ia belum menceritakan ke siapapun tentang yang ia saksikan. Yang ia pikirkan jika dua kakak beradik itu akur artinya mereka punya hubungan yang perlu dipertanyakan. Ia sangat ingin mengadukannya pada sang nyonya, hanya saja ia masih ragu. Namun dalam hatinya ia tidak bisa membiarkan hal itu berlarut – larut.
Sementara itu Moira mencoba menyalakan kembali ponselnya. Layarnya yang retak parah membuat hatinya miris. Ia harus mulai menabung untuk membeli yang baru. Tapi ponselnya yang sekarang sudah sangat darurat. Bagaimana caranya ia bilang pada mama kalau ponselnya perlu di ganti?
Moira masih duduk berlipat kaki di depan cermin barunya. Ponsel buluk itu masih di tangan kanannya. Bibirnya manyun terus menerus karena ia kesulitan membaca dan membalas chat dari Shana.
Sebuah tas kertas kecil tiba – tiba mendarat di depannya. Moira tidak sadar akan kehadiran abangnya yang menaruh bingkisan itu. Kedua mata Moira berbinar dan melebar karena terkesima. Ia bisa menebak hanya dari ukurannya.
“Handphone baru??!!!” senyumnya sangat lebar. Ia menatap abang sulungnya lewat cermin.
Alpha juga ikut tersenyum melihatnya senang. Ia memperhatikan gadis itu mulai mengeluarkan kotak handphone dari dalam bingkisan. Moira histeris melihat ponsel model terbaru di tangannya.
“Waaaah serius? Serius??!!! Ini buat Moi?!!”
Alpha mengangguk.
Pertama kalinya Moira mendapatkan sesuatu dari Alpha. Pertama kali dalam hidupnya. “Ga mau ah, nanti kak Alpha pamrih lagi” ia menaruh kotak itu ke meja di depannya.
“Ya ampun, pamrih buat apa coba?” protes Alpha, ia heran dengan tingkah rumit Moira.
“Nanti kak Alpha minta balikin duit atau minta aneh – aneh”
“Otakmu itu yang aneh!!”
“Ya udah, Moi mau nerima asal kak Alpha mau nurutin satu permintaan Moi”
Sudah di kasih hati minta jantung. Dasar bocah! “Mau apa?”
Moira menyengir ketika Alpha langsung menyodorkan tawaran. Ia begitu senang karena Alpha seolah berada di bawah kuasanya. “Sabtu depan temenin Moi ke Dufan”
Alpha menyesal. “Aku modalin aja deh, kamu main aja sama Shana!!”
Moira membalikkan tubuhnya menghadap Alpha. Ia meraih tangan Alpha dengan kedua tangannya dan menggenggamnya. Wajahnya mendongak menatap pria itu.
Alpha lemah dengan hal ini. Dadanya seketika berdebar karena lonjakan daya listrik yang mengalir melalui sentuhan jemari Moira ke dalam tubuhnya.
Kedua mata Moira terus menatapnya dan menunggunya untuk mengatakan “iya”.
“Ga mau!! Kamu pikir kakak ni umur berapa main ketempat begitu?!”
“Loh, kak Alpha ga pernah nonton drama sih. Yang udah tua juga masih suka nge-date ke taman bermain kayak gitu!!” Moira melepaskan tangan Alpha.
Alpha menatap Moira yang berhenti melihat kearahnya. Ia menatapnya dengan sedih. Hubungan mereka sudah cukup aneh dan ia ragu apa ia berhak mendapatkan pengalaman kencan seperti itu. Ia menginginkannya. Ia juga ingin membuat Moira bahagia. Tapi bukankah dengan adanya kencan di luar justru membuat hubungan mereka semakin dalam dan bertambah rumit?
Moira meraih kembali tangan kanan Alpha. kali ini dengan penuh hati – hati. ia menggenggamnya dengan lembut. “Pokoknya jawabannya harus iya” lalu tersenyum licik.
Gadis itu benar – benar polos. Alpha tidak yakin apakah Moira mengerti betapa berat situasi yang mereka hadapi sekarang? Moira mungkin belum paham betapa perasaan Alpha serius terhadapnya.
✳️✳️✳️
Apakah ini normal??
To be continue...
KAMU SEDANG MEMBACA
H.O.M.E
General FictionYang terlihat di luar hanyalah sebuah cerita yang indah. Rumah megah itu menyimpan cerita yang sebenarnya. Moira : "Mereka membenciku meski papa berkata aku adalah malaikat. Rumah ini, aku akan mengembalikannya seperti yang seharusnya. " Edwin : "Se...