13

11.5K 1.7K 878
                                    

Ah, lagi-lagi aku terlalu keras padanya.

"Aku tau rasanya susah buat terbuka." Sahutku.

"Aku juga gak maksa kamu buat kasih tau semua tentang kamu langsung.walaupun aku butuh buat ngerti kamu, tapi aku bakal nunggu sampe kamu siap."

Terdiam beberapa detik, aku masih mengusap tangannya yang halus ini. Hingga disaat bersamaan kami saling memandang.

"Maaf kalo aku kasar tadi, aku gak maksud.." Ucapku menatap matanya yang indah itu. Lagi-lagi aku jatuh kedalam netranya yang memikat. Tapi jujur dari dalam hatiku...








"Aku cuma Khawatir sama kamu Ren."

-o-

Setelah beberapa hari yang lalu, aku bertemu dengan Bintang, kami dengan sering saling bertukar pesan, kadang ia selalu memaksaku untuk menyimpang kerumahnya. Sekedar basa-basi atau bahkan terang-terangan memintaku menjaga anaknya.

Sayangnya kami selalu tidak mempunyai waktu yang pas untuk merealisasikan itu, terkadang aku yang sibuk dengan Skripsiku atau dia yang sibuk menyiapkan Tugas akhirnya. Hingga akhirnya Hari ini kami memiliki waktu luang, kebetulan juga Renjun sedang tidak kesekolahnya lagi. Aku rasa ini waktu yang tepat untuk mengajaknya keluar rumah.

"Ren..." kulihat ia sedang berada di ruang Tv menonton salah satu tayangan di Netfilx. Aku duduk disampingnya dan ternyata tidak mengganggu kosentrasinya menonton itu.

"Njuun..." aku berusaha mendistraksinya, kutusuk pipi kirinya dengan jariku namun ia tetap konsentrasi menonton.

Sejak beberapa hari kemarin, setelah aku mengatakan bahwa aku lelah dan mengkhawatirkanya, aku berusaha untuk terbuka juga padanya dengan cara membuka sifatku yang tengil ini... hehe..

Tapi tentu saja aku terbuka ini, bermaksud agar ia ikut terbuka juga.

Bukan karna hal lain.

Dan untungnya sejak aku mulai terbuka akan ketengilan dan cerewetku, Renjun sudah tidak terlihat kambuh lagi—tentu karna aku mengunci pintu belakang tiap malam sekarang. Namun tetap ia masih enggan untuk membicarakan dirinya secara dalam.

"Ren,Ren,Ren." Aku mencubit pipinya pelan dan ia mulai melepaskan tanganku. "Ganggu." Ucapnya, namun masih tetap menatap layar tv.

"Dih! Anteng (fokus) amat nonton. Keluar kuy, main gitu, ngapel hayu malming nih." Ajakku.

"Emang skripsi Teteh udah beres?"

"Belum."

"Beresin dulu."

Aku mendesis "Males Njun... Pengen refreshing." Dengan nada sedikit memelas, aku merebahkan badanku pada punggung sofa.

"Capek tau gak, liat Coretan online yang tiap kali bapakmu kirim. Padahal aku kirim berupa file kan, kenapa gak beliau revisi sendiri aja gitu, ketikin kek, ini niat banget di coret digital." Ocehku mengeluh tentang Pak Huang yang tak lain Ayahanda Renjun yang sekarang masih di Australia. Kami sempat bertukar email membicarakan Renjun, beliau selalu menanyakan kabar anaknya.

Ia mengatakan akan pulang sebelum sidang proposal dimulai, dan aku tetap diam tidak menanyakan lebih tentang Renjun padanya.

"Setidaknya  paper less, soalnya coret online." Sahut Renjun membuatku mendelik kearahnya.

"Iya makanya, hayu jalan-jalan. Ganti baju sana, kita ke rumah Bintang."

"Bintang?" Kutebak Renjun lupa siapa Bintang.

Noona! ✔️ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang