"Teruntuk sahabatku. Jika aku tak bisa mencapai waktuku, izinkan aku menitipkan pesan untukmu.
Berbahagialah tanpa perlu lagi memikirkan kebahagiaan orang lain.
Bebanmu sudah tiada."
-o-
Dia benar-benar mabuk.
Wanita itu hanya menundukkan kepalanya setelah ia mengatakan bahwa dirinya sudah tak kuasa menopang beban tubuhnya sendiri.
Aku hanya menghela napas dan menatap pucuk kepalanya itu.
"Teh," panggilku mengusap kepalanya. Wanita itu hanya berdeham.
"Bangun ayo, aku nggak bisa gendong Teteh, tangan aku masih diperban."
Ia tak bergeming, masih tetap diam menunduk tertutupi rambutnya sendiri. Sekali lagi aku menghela napas berat.
"Teh, Teh Sakha?" Aku memanggilnya tapi ia hanya bergumam.
"Bentar," katanya, padahal ia sudah berjongkok selama dua puluh menit.
Aku menyibakkan rambutnya dan kembali berucap, "udah setengah tiga subuh. Kita harus cepet pulang."
"Lu yang lama, lu yang ngeburu-buruin."
Ia menyela ucapanku begitu saja, dengan kesadaran yang sepertinya masih ia usahakan. Ia membalas ucapanku meski tak mengenal kata formal seperti biasa, sikapnya membuatku terkekeh.
Tanganku kembali menyisir rambutnya. "Kan ngurus Renjun dulu, sekarang Teteh. Masa kalian mau ngerepotin aku sih? Kompak bener."
Tapi rasanya aku mengangkat topik yang salah. Karena kini Sakha benar-benar diam tak mengeluarkan bunyi apapun.
"Teh?" Aku mencoba menggoyangkan tubuhnya seraya memanggilnya. Tapi yang kudapat malah isakkan tangis dari dalam.
"Hiks."
Dia menangis? Tiba-tiba?
Ini benar-benar membuatku bingung. Aku menatap sekeliling, sungguh sepi tak ada siapapun kecuali arah dimana masih banyak orang berkumpul di tempat tadi.
Akhirnya aku memilih menunggu hingga tangisannya reda. Tapi sepertinya mustahil karena aku malah mendengarnya semakin kencang.
"Teteh nggak capek nangis terus?" Aku berusaha mengalihkan perhatiannya tapi ia tetap terisak meski suaranya mulai meredam.
Masih dengan posisi menunduk, ia bergumankan sesuatu. "Renjun," gumaman yang cukup membuatku paham.
Aku kembali mengusap halus surainya, "sayang banget ya, Teh. Sama Renjun?" Tanyaku, tapi tak mendapat jawaban darinya.
Aku tersenyum miris. Rasanya seperti ada jarum menusuk kecil di dada, perasaan ini sudah sering begini. Tapi rasa sakitnya tetap saja pedih.
Aku sedikit menarik tangannya. "Ayo, aku gendong." Ajakku, tapi ia menarik paksa kembali tangannya.
"Nggak mau, Jeno nya marah."
KAMU SEDANG MEMBACA
Noona! ✔️
Fanfiction[SUDAH TERBIT TERSEDIA DI SHOPEE] ❌TIDAK ADA BAB YG DI HAPUS❌ Kuliah itu pusing! apalagi Skripsi! demi tanda tangan dosen pembimbing, rela deh lakuin apa aja yang penting lulus! Tapi kebayang nggak tuh, kalo dititipin anaknya buat syarat lulus skrip...