57

6.6K 1K 156
                                    

"Teh, ayo kita flashback. Sebelum Teteh liat aku berbaring di rumah sakit ini. Sebelum aku melukai tangan Teteh itu dan sebelum aku jatuh pada senyuman indah yang selalu merekah dipagi hari dengan hangatnya.

Saat itu, saat jauh sebelum mengenalku. Teteh pasti jauh lebih bahagia kan?"

-o-

"Lo yakin gapapa?" Jungwoo terlihat khawatir seraya terus mengusap dahiku yang tiba-tiba berkeringat itu.

"Gapapa," lirihku tak meyakinkan.

"Kha, kalo lu mau mundur, mundur aja."

Aku menggeleng pelan, "nggak bisa, Wu. Gue udah disini. Gue udah nggak bisa mundur." Ucapanku membuat Jungwoo menatapku dengan iba. Lelaki itu mengigit bibir bawahnya dan hanya bisa menghela napas setelahnya.

Tangannya kini merapikan jas almamaterku. Ia tak berucap apapun selain mengulum bibirnya sehingga memaksakan sebuah senyuman.

Iya, setelah kejadian bersama Jaehyun itu. Aku jelas merasa shock dan Jungwoo mengetahui itu. Ia dengan jelas melihat bagaimana aku pulang dengan keadaan termenung hingga akhirnya hanya bisa menitikan air mata perlahan, bingung dengan jalan apa yang harus kupilih.

Hanya Jungwoo. Iya, hanya temanku yang tau untuk saat ini, tapi akupun tak akan memberi tau siapapun tentang ini. Karena bagiku jika banyak orang tau, mereka akan semakin melarangku. Padahal, menurutku ini sudah terlanjur dan tak bisa berputar lagi.

Terdengar seperti bunuh diri, tapi katakanlah begitu karena aku terlalu memikirkan sekitarku.

Renjun? Aku pun tak memberi taunya. Aku memutuskannya untuk menyimpannya jika bisa, tidak perlu sampai ia tau, karena dengan kejadian itu aku bahkan tak sanggup mendatanginya. Sehingga aku masih belum bisa menenangkan emosi kekanakannya itu.

Sekali lagi Jungwoo menatapku dengan nanar. "Semoga nggak sesuai apa yang dia bilang," ujarnya diaminkan olehku.

Waktu masih menunjukkan pukul enam pagi. Sidang akhir dimulai sekitar pukul sepuluh, aku sengaja datang lebih cepat karena tak ingin mengulang kesalahan yang sama seperti saat sidang proposal.

Jungwoo tiba-tiba mengusap kepalaku sebelum akhirnya pergi membantu panitia yang lain.

Aku tersenyum miris. Bingung dan takut menjadi satu. Menyesal mengapa tak memilih mundur sejak dulu, namun nasi sudah menjadi bubur, sekarang harapanku hanya agar ucapan Jaehyun itu tidaklah benar.

Ponselku berdering, panggilan masuk dari ibuku. Aku mengangkatnya dan berusaha untuk terdengar tenang.

"Halo, Kha?"

"Iya, Ma?"

"Deg-degan?"

Aku menunduk sebelum akhirnya terkekeh, "lumayan."

"Harus dong, biar kamu keliatan sungguh pengen beasiswanya."

Aku benar-benar hanya bisa menelan salivaku dan terkekeh garing.

"Mama Tau kamu nggak mengecewakan kita disini. Kamu bisa kan nak?"

Sejenak aku hanya bisa terdiam. Ucapan ibuku semakin membuatku merasa sadar bahwa aku benar-benar tidak bisa mundur. Semuanya sudah terlambat. Aku sudah memikul beban harapan orang-orang.

Noona! ✔️ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang