"Teh, ini tulisan terakhir aku di buku ini. Hari ini aku udah yakinin diri kalo aku mau ngasih buku ini ke Teteh. Dan artinya Teteh bakal liat semuanya.
Deg-degan dong.
Tapi Teh, semakin aku bersama Teteh. Aku semakin tau kalo setiap nafas yang kita buang itu harus selalu dimanfaatkan. Dengan liat bagaimana Teteh selalu menghabiskan waktu depan laptop dan bahkan masih bisa ngurus aku itu, bagiku hebat.
Jadi aku ingin kurangin beban Teteh yang suka kebingungan sama aku.
Aku terbuka nih, hehe.
Oh iya, aku pernah bilang tuhan nggak adil. Dan aku pesimis untuk sembuh kan ya? Waktu itu Teteh cuma diem pasti dalem hati Teteh pengen banget ceramah kan? Hahaha.
Sekarang aku nggak menyalahi tuhan kok. Bagaimanapun ia pasti punya alasan kenapa menciptakan cerita hidup aku sehebat ini.
Iya, aku menyerah untuk sembuh, Teh. Tapi bukan berarti aku pasrah. Aku cuma tau kalo aku tidak akan bisa sembuh secara total, makanya setidaknya begini saja udah cukup. Gapapa tergantung dengan segala pengobatan. Asalkan aku bisa ngeliat Teteh dengan kesadaran aku sendiri."
-o-
"Liat, pacarnya udah dateng tuh, Ren."
Seorang pelatih menunjukku yang berdiri diambang pintu. Pagi ini aku sengaja datang disaat jadwal terapinya.
Renjun yang berkeringat menoleh padaku. Ia sedang berusaha berjalan ditengah matras dengan pegangan besi dikiri dan kanannya. Lelaki itu tersenyum lebar menatapku, membuatku ikut tersenyum saat mata kami saling bertukar pandang.
Ia kembali fokus untuk berjalan dan aku menatap ruangan ini sekeliling. Benar apa katanya, hanya dia pasien termuda yang melakukan terapi. Disini aku melihat mungkin pasien berumuran sekitar empat puluh hingga tujuh puluh yang melakukan terapi.
Ada yang sama sepertinya ataupun sekedar terapi komunikasi dengan perawatnya yang tentu bertujuan agar sang pasien dapat menerima dirinya dan penyakitnya dengan terus bisa menjaga hubungan dengan orang lain.
Aku kembali fokus melihat Renjun, langkahnya sudah semakin baik. Ia sudah bisa menyelesaikan langkahnya meski masih membutuhkan pegangan.
Setiap kali melihatnya aku selalu takjub. Ia sangat mempunyai semangat untuk sembuh atau setidaknya membaik, sehingga pengobatannya terasa cepat. Namun sama seperti kesembuhannya, bagaimana ia kembali jatuh sakitpun begitu mudah bahkan bisa menjadi lebih parah.
Satu hal yang kadang membuatku lelah dan menganggap ia lemah.
"Hasilnya lumayan ya." Suara seseorang mengejutkanku. Aku dengan cepat menoleh kesamping dan mendapati Jeno yang berdiri di belakangku.
Lelaki itu tersenyum dan kembali menatap Renjun, "setidaknya efek obatnya nggak ngarah ke mentalnya lagi."
"Maksud?" Tanyaku dan Jeno tersenyum.
"Biasanya efek obat baru itu dia bakal sering ngomong sendiri atau nangis sendiri atau tiba-tiba ngelamun. Buat Renjun dia cuma ngelamun atau kadang nangis. Nggak ngarah pada kekambuhan negatif." Jelas lelaki itu membuatku mengangguk paham.
KAMU SEDANG MEMBACA
Noona! ✔️
Fanfiction[SUDAH TERBIT TERSEDIA DI SHOPEE] ❌TIDAK ADA BAB YG DI HAPUS❌ Kuliah itu pusing! apalagi Skripsi! demi tanda tangan dosen pembimbing, rela deh lakuin apa aja yang penting lulus! Tapi kebayang nggak tuh, kalo dititipin anaknya buat syarat lulus skrip...