Baru saja aku akan menekan tombol call pada layar ponselku. Seulur tangan menghalangi nya dan menurunkan kedua tanganku yang bergetar.
Tangan kurus itu terasa kuat dari dorongan nya, meski memang pelan.
"Jangan telpon Jeno, ini urusan aku sama Teteh."
-o-
Tatapanya begitu tajam. Membuatku merasa takut sekaligus terancam.
Ini sisi lain dari Renjun.
Aku menggeleng pelan, "i-itu." saking gugup, tanpa sadar punggungku sudah menempel di sisi lain tembok. Sama dengan Renjun yang terus melangkah maju mendekatiku.
Gerakkannya membuatku reflek mengangkat kedua tanganku sejajar dada, "itu, biar aku jelasin!" ujarku dengan panik.
Namun gerakkan lelaki itu sangat cepat. Tak lama ia menepis kedua tanganku dan meluncur begitu saja menekan dadaku dengan sebelah tangan.
"Uhk!" Aku terdorong lebih keras hingga membentur tembok. Renjun dengan tatapan nyalangnya masih menatapku tajam.
Berkali-kali aku menepuk tangan yang menekan dada hampir leherku ini. Aku takut ia berakhir mencekikku. "Biar aku jelasin dulu Ren!"
"Apa? Alibi apalagi? Sebenernya udah lama kan Teteh nemu ini?" Ia memotong ucapanku dan masih melanjutkannya, "Teteh tau kan aku selama ini nyari. Tau kan ini penting buat aku."
Perlahan tangannya naik menuju batang leherku, semakin membuatku panik ketakutan. "Bukan gitu Ren! Jeno-"
"-uhk!"
Aku tercekik oleh sebelah tangannya. Rasanya sungguh sesak, berkali-kali pula aku menampar-nampar tangan yang kini meremas leherku itu.
Rasanya sakit, mengingat tangan yang selalu menggenggamku kini sedang membunuhku.
Renjun seolah kesetanan, ia tak mau mendengar penjelasanku dan kini dengan nada suara yang dalam, memberikan penekanan lagi padaku.
"Jeno lagi! Udah aku bilang ini urusan antara aku sama Teteh!"
"Denge-rin, du-lu!"
Tidak bisa. Ia benar-benar tidak mau melepaskan cekikkannya dan aku semakin kehabisan napas.
Aku ingin menangis tapi ini bukan saatnya menjadi lemah. Aku tak ingin menjadi korban atas kelalaianku sendiri, kurasa aku harus mencari solusinya.
"Teteh selalu nuntut aku untuk terbuka, LALU INI APA? SENDIRINYA NGGAK JUJUR!" ia membentakku dengan kencang dan menekan kalimat akhirnya.
Aku mengedarkan pandanganku sebisa mungkin, mencari kemungkinan apa yang bisa kuraih sebagai bentuk perlawananku.
Tapi nihil, posisiku terlalu terpojokkan dan tak ada apapun selain tubuhku sendiri dan ponsel yang ku genggam.
Aku semakin merasa tekanan di pangkal leherku. Rasanya sakit dan mencekik, entah berapa kali aku menarik nafas sebisaku juga memukul lemah tangannya ini.
"JAWAB!"
Mataku sempat-sempatnya menatap pancaran emosi dari tatapan kasarnya. Menahan sakit, aku memejamkan mata dan berusaha berpikir.
KAMU SEDANG MEMBACA
Noona! ✔️
Fanfic[SUDAH TERBIT TERSEDIA DI SHOPEE] ❌TIDAK ADA BAB YG DI HAPUS❌ Kuliah itu pusing! apalagi Skripsi! demi tanda tangan dosen pembimbing, rela deh lakuin apa aja yang penting lulus! Tapi kebayang nggak tuh, kalo dititipin anaknya buat syarat lulus skrip...