54

8.4K 1.1K 315
                                    

"Aku ingin memeluknya, tubuh kecil berbalut hanbok-nya itu, seakan bisa kurangkul dengan mudah. Ia sangat indah hanya dengan berdiri ditengah bunga krisan. Iya, ia sudah indah hanya dengan berdiri seperti itu. Aku jelas tak mungkin bisa merangkulnya."

-o-


"Teteh sendiri maunya gimana?"

Sekilas aku menatap keluar jendela yang menampakkan orang-orang berlalu-lalang diluar. Aku terdiam merenungkan pikiranku sendiri.

Hingga akhirnya hanya ada embusan angin yang tertiup dariku. "Gak tau, aku masih bingung," jawabku.

"Ini jelas kesempatan langka, tapi rasanya berat aja gitu kalo sampe dapet."

Lelaki di hadapanku ini mengangguk seakan paham. Akupun melanjutkan, "sebenernya kalo kamu bilang gak usah pergi, kayanya aku bakal lepas beasiswanya," lirihku sedikit malu-malu.

"Kenapa gitu?"

Kedua mata kami saling bertemu. Tiba-tiba aku merasa malu ketika menatapnya, "emang kamu bisa LDR?" Kukuhku. Perbincangan kami kurasa mulai mengarah serius.

Renjun terdiam berdeham, seakan berpikir dengan tisu yang ia linting panjang itu.

"Kenapa nanya aku?"

Embusan napas jengkel terbuang dariku begitu saja, "lho kok nanya balik," gumamku mulai merasa kesal.

Namun Renjun terlihat tenang, ia mengelap bibirnya dengan tisu baru dan melipat bekas pakainya itu, "pertanyaan itu, bukannya harusnya Teteh tanya dulu ke diri sendiri?"

Aku terdiam, ada benar ucapannya. Hingga saat aku akan kembali berbicara, ia menyelaku.

"LDR bukan soal bisa gak bisa. Tapi soal saling yakinnya. Nah, emang Teteh yakin? Kalo Teteh yakin, akupun yakin disini."

Ia meletakkan sumpitnya diatas piring, tak ada lagi makanan yang diambilnya ataupun minuman yang ia teguk. Fokusnya kini hanya padaku, dengan tangan yang berlipat diatas meja, ia menatapku dengan lamat.

"Eh, itu, em." Aku sedikit terkikuk, bingung karena aku masih diujung keraguan. Tapi lelaki itu hanya tersenyum simpul dengan matanya yang selalu berbinar.

Ia terkekeh, "aku tau," ucapnya membuatku menutup mulut. "Tapi untuk hal seperti ini, seharusnya bukan aku yang Teteh jadikan pemegang keputusannya. Karena aku cuma pacar, bukan penentu nasib Teteh."

Lagi-lagi aku terdiam. Kenapa rasanya jadi ia yang dewasa dibanding aku?

"Ini adalah pilihan Teteh yang harus Teteh pikirin banyak halnya selain kita yang mungkin jadi LDR. Ada orang tua Teteh yang jelas mendukung Teteh untuk berhasil, ada dosen yang menaruh harapan ke Teteh untuk ini," ia mulai mengeluarkan dompet dari saku celananya, mengambil sebuah kartu dan kembali menatapku.

Aku masih tak bisa menerimanya, "kalo gitu kita kuliah disana aja bareng." Sebuah ide keluar begitu saja tanpa ku cerna. Membuat raut wajah Renjun sedikit terkejut berujung tertawa renyah.

"Ide bagus, tapi ide yang buruk juga."

Terdiam aku mendengar jawabannya,  seakan tau aku yang menunggu penjelasannya itu, ia menarik napas. "Sama kaya Teteh yang pengen lanjut S2 dengan jurusan itu. Aku juga pengen berusaha buat masuk jurusan yang aku pengen."

"Disana juga ada kan, Ren." Aku mulai merengek, berharap setidaknya ini ide yang bagus.

Tapi ia hanya tersenyum manis menunjukkan deretan gigi kecilnya itu. "Iya disana ada, tapi kita beda kota nantinya, kalo gak salah liverpool university ada astronomi, jauh banget dari Edinburgh. sama aja dong?" 

Noona! ✔️ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang