"Mungkin aku nggak pernah ngasih tau ini dan gak akan pernah ngasih tau ini langsung. Tapi, Teh...
I have a crush on you, since first we meet under the tree."
-o-
"Gila emang, bisa-bisanya lu ngomong gitu depan orangnya langsung."
Jungwoo yang berbaring santai diatas kasurku seraya menyemil cemilan begitu asik menceramahiku yang menjelaskan padanya.
"Namanya emosi ya keceplosan," aku masih sempat-sempatnya membela diri setelah pertengakaran ku dengan Renjun dua hari lalu.
Jungwoo bangkit dari posisinya, "terus sekarang nggak lu pake apple watch nya?" Tanyanya menunjuk sebuah jam tangan pintar yang tergeletak begitu saja di atas meja.
Aku mengerang menatap jam itu dibalik kursi ini. "Nggak, bawaanya panik mulu gue liatnya."
Iya, sejak aku mendapatkan jam tangan itu. Aku selalu terselimuti perasaan panik dan khawatir, bahkan sebenarnya semalam jam itu kembali berbunyi keras, menandakan Renjun kembali kejang. Aku tak sanggup dan akhirnya memilih mematikan jam itu.
"Terus, lu kapan baikkannya?" Tanya lelaki itu membuatku terdiam sejenak.
Aku menghela napas, "nggak tau." Membuat Jungwoo mendecih.
"Mau sampe kapan kucing-kucingan terus? Lu kan harus siapin diri buat pergi."
"Ih, siapa juga yang jadi pergi?"
Jungwoo menatapku tajam. Jika sudah begini, artinya ia serius. Aku menghela napas dalam. "Gue masih nggak yakin, Wu."
"Lu nggak inget kata Bu Neneng?"
"Y-ya inget tapi kan—"
"Sekarang udah nggak ada kesempatan untuk nggak yakin, Kha."
Jungwoo memotong ucapanku, aku seketika terdiam dan hanya bisa mengatupkan bibir.
Lelaki itu kembali melanjutkan ucapannya, "dari dulu gue selalu nanya apakah lu yakin mau maju terus atau mundur, tapi lu sendiri yang yakin maju. Lu sendiri yang bilang ini menghabiskan keberuntungan seumur hidup lu, jadi sekarang udah bukan waktunya untuk mikir ulang, Kha."
"Tapi, Wu. Gue nggak bisa." Aku berusaha untuk melawan ucapannya, namun ia kembali memotongku.
"Lu nggak bisa ninggalin Bandung atau nggak bisa ninggalin Renjun?"
Tertohok. Aku hanya bisa diam, entah mengapa bibirku terasa kelu dan akhirnya aku memilih menundukkan kepalaku.
"Udah gue sindir kalo perasaan lu hanya berlandaskan kasian. Sekarang lu bingung pergi atau enggak karena takut Renjun kedepannya gimana. Ini udah jelas, Kha." Jungwoo yang awalnya duduk, kembali merebahkan dirinya.
Lelaki itu menghela napas, "sekarang pilihan lu cuma dua. Bertahan demi berkorban, atau pergi untuk berkembang."
"Berkembang?" Aku sedikit bingung dengan ucapannya tapi lelaki itu kembali berdeham.
"Ketika lu pergi dan menetap disana, lu akan lebih berkembang lagi. Menjadi sosok yang lebih dewasa dan akhirnya tau tujuan dari setiap langkah yang lu pilih."
"Syukur kalo emang lu kembali lagi untuk Renjun. Menjadi sosok yang lebih siap dan tulus."
Lagi, aku hanya terdiam. Entah mengapa segala ucapan Jungwoo kadang selalu tepat sasaran. Aku yang bingung hanya memainkan jariku.
"Tapi gue tau kok, kalo lu memang ada rasa dengan Renjun meski banyak khawatirnya." Ucapan Jungwoo membuatku kembali menoleh.
Lelaki itu menatapku, "buktinya lu lebih takut ninggalin Renjun dibanding gue yang jelas temen lu." Ia tersenyum jahil menunjukkan deretan giginya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Noona! ✔️
Fanfiction[SUDAH TERBIT TERSEDIA DI SHOPEE] ❌TIDAK ADA BAB YG DI HAPUS❌ Kuliah itu pusing! apalagi Skripsi! demi tanda tangan dosen pembimbing, rela deh lakuin apa aja yang penting lulus! Tapi kebayang nggak tuh, kalo dititipin anaknya buat syarat lulus skrip...