Bintang menatapku dengan anaknya itu, aku memandangnya dan tersenyum sebelum akhirnya memeluk bocah itu.
"Lucu ya Bi." seruku, Bintang tetap menatapku. "Kalau kamu bertanya kenapa aku nggak nangis, aku bahkan udah nggak bisa ngeluarin air mata. Mungkin udah abis."Aku tersenyum miris, menepuk punggung bocah itu.
"Pada akhirnya, aku memang nggak bisa Handle dia sendirian. Aku selemah itu ternyata."
-o-
"Panggil aja Papah." Pria berjas Putih ini mengulurkan tangan padaku, ia memiliki senyum yang sama dengan Jeno.
Tentu saja, karna ia adalah Ayahnya.
Iya, Sang Dokter yang mengulur kepulangannya ini akhirnya muncul di hadapanku setelah lamanya menunggu.Dokter Irwan Lee. Kepala Rumah sakit sekaligus Dokter yang bertanggung jawab atas Renjun itu memintaku untuk memanggilnya "Papah". Ia sama Ramahnya dengan Jeno, hanya saja mungkin terlalu ramah...?
"Astaga Pah..." keluh Jeno disampingnya, mungkin ia merasa malu melihat tingkah ayahnya yang begini. "Gapapa sih Jen, kan semua temen kamu manggil gitu."
"Apasih Pah, Teh Sakha mah bukan temen."
"Oh, calon? Ya bagus dong panggil Papah."
"Papah!"
Perdebatan ayah dan anak ini menjadi asupan pagi ku hari ini, aku berdeham menarik atensi mereka. Dokter Lee hanya tersenyum sedangkan Jeno sudah menekukkan wajahnya.
Dokter ini tersenyum hangat seraya membawa catatan di tangan kanannya. "Ini tuh Sakha kan? Papah udah tau dari Renjun sama Jeno. Apalagi bapaknya Renjun. Manis ya pantes aja."
Aku hanya tersenyum kikuk, sebelum Jeno akhirnya memutuskan mendorong ayahnya sendiri masuk ke kamar inap Renjun. "Sana mulai konselingnya, Jeno sama Teh Sakha nunggu diluar!"
Dokter Lee hanya tertawa melihat anaknya, hingga ia berada diambang pintu. "Tunggu ya Sakha, Papah ajak ngobrol dulu sama Renjun." Ucapnya, sebelum menutup pintu meninggalkan aku dan Jeno berdua.
"Maaf ya Teh," Jeno yang tiba-tiba bersuara membuat tawaku sukses memecah keheningan kami. "Kok ketawa sih?" protesnya.
"Papah kamu lucu, masa baru ketemu udah minta di panggil Papah. Berasa punya calon mertua."
Jeno ikut tertawa, ia berjalan diikuti denganku. Menjauh dari Ruang Inap, kami duduk di sebuah kantin Rumah sakit dan berbincang Ringan.
"Konseling berapa lama biasanya?" tanyaku, karna merasa bosan menunggu. Jeno melihat jam di pergelangan kirinya, "Biasanya sekitar 30 menit sampai berjam-jam."
Aku mendesah lemah. Ini pasti akan memakan waktu lama, dan aku mulai merasa ngantuk, lalu memutuskan merebahkan kepalaku diatas meja. Berharap bisa terlelap walau hanya beberapa detik. Tapi ternyata percuma posisi yang tidak nyaman, tidak bisa mengantarku ke alam mimpi.
Jeno yang hanya diam memandangku kini membuka suara. "Jalan aja yuk Teh?"
"Kemana?"
"Maunya kemana?"
Aku diam sesaat, memikirkan enaknya dibawa kemana raga yang bosan ini. Aku memang mengantuk, tapi itupun karna lelah, memang enaknya untuk dibawa refreshing.
"Pengen yang adem-adem gitu sih Jen. Bau hutan atau bau air gitu." ujarku, mendeskripsikan pada Jeno. Lelaki itu ikut terdiam berpikir sebelum akhirnya menjentikkan jarinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Noona! ✔️
Fiksi Penggemar[SUDAH TERBIT TERSEDIA DI SHOPEE] ❌TIDAK ADA BAB YG DI HAPUS❌ Kuliah itu pusing! apalagi Skripsi! demi tanda tangan dosen pembimbing, rela deh lakuin apa aja yang penting lulus! Tapi kebayang nggak tuh, kalo dititipin anaknya buat syarat lulus skrip...