"Kalo suatu hari nanti aku bandel, tolong marahin aku."
-o-
Pupilnya melebar manakala ia melihat aku yang sudah berdiri tak jauh dari posisi dimana ia berjalan keluar. Wajahnya lucu sekali ketika ia memalingkannya ke kiri dan ke kanan seakan mencari seseorang.
Aku hanya bisa tersenyum melihatnya. Renjun terlihat begitu rapi dengan pakaian formal hitam putihnya itu, meskipun rambutnya sedikit panjang. Tapi ia memilih untuk menaikkan poninya itu.
"Kok?" Tanyanya ketika ia mendekatiku. Matanya seakan memindaiku dari bawah hingga atas.
"Kok?" Aku ikut bertanya padanya, ia kembali mengerjapkan mata dan tanpa sadar tersenyum sebelum kembali menutup dengan telapak tangannya.
"Kenapa bisa ada disini?" Tanyanya kini. Terlihat jelas ia kebingungan.
Lagi, aku hanya tertawa, "jemput lah. Apalagi?" Ujarku namun sepertinya tak memuaskan jawabannya.
"Tapi, sidangnya?"
"Lebih cepet daripada tes kamu."
Renjun kembali terdiam, ia beberapakali mengerjapkan mata hingga aku melihat pundaknya bergetar semakin jelas. Nafasnya pun semakin cepat.
"Hey, kamu kesenengan atau nahan marah sih? Kok tiba-tiba gini?" Aku menepuk kedua pundakknya dan mengusap halus pundak itu.
"Dua-duanya," gerutunya yang kini semakin berderu. Aku terkekeh masih terus mengusap pundaknya, kini merangkul sebelah tangannya itu.
"Tarik napas, aku disini kok. Kalo mau marah, ayok marah." Ujarku masih terus merangkulnya.
Ia terlihat menarik napas dalam dan aku hanya bisa terkekeh. Gemas sendiri melihat reaksinya itu.
"Bisa-bisanya," ia bergumam namun masih dapat kudengar.
"Apa perlu obat?" Tanyaku kini menggegam telapak tangannya, ia menggeleng seraya menatapku.
"Nggak, aku mau penjelasan Teteh. Masih marah ini."
Tanpa sadar aku tertawa, "marah? Tapi aku kesini kok kamu senyum tadi?" Aku sedikit menjahilinya. Lelaki di hadapanku ini memutar matanya, lalu terkekeh sendiri.
"Iya-iya. Aku ngaku, aku seneng Teteh kesini." Akhirnya ia mengakui perasaanya, seketika aku merasakan pegangan erat dari genggamanku ini. "Tapi aku masih marah sama yang waktu itu loh."
"Yang mana sih? Aku lupa." Aku terkekeh sendiri setelah mengucapkan itu. Membuat air wajah Renjun semakin menekuk sebal.
"Kan, kan. Taulah, aku ngambek lagi." Ia merujuk namun masih menggegam tanganku. Aku semakin tertawa.
"Iya, maaf. Kemarin kan aku cuma bercanda sama Jungwoo. Cokelat dari aku nggak cukup apa?" Kataku membawa kami berjalan menyusuri kampus ini.
Renjun berdecih, "siapa yang nggak kaget sih dapet cokelat tapi perantaranya segede gitu." Ia merujuk pada Lucas yang memang ku titipi itu.
Ucapannya membuatku semakin tertawa, "maaf, abisnya pas aku mau ke rumah kamunya kan yang nggak mau." Aku masih berusaha membela diri.
Berbeda dengan Renjun yang kini berdecih, "nggak peka."
Tawaku semakin kencang, "peka kok, aku malah mau kerumah. Tapi ternyata dipanggil dekan, jadi nggak jadi. Jadinya Lucas." Jelasku memberikan pembelaan sekali lagi.
Renjun hanya berdeham paham. Entah kemana kami melangkah, yang jelas kami hanya menyusuri kampus ini. Saling bergandengan tangan dibawah rindangnya pohon besar yang ada disekitar kami. Sejenak memang hanya hening, seakan kami saling menikmati sejuknya kampus Taman sari ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Noona! ✔️
Fiksi Penggemar[SUDAH TERBIT TERSEDIA DI SHOPEE] ❌TIDAK ADA BAB YG DI HAPUS❌ Kuliah itu pusing! apalagi Skripsi! demi tanda tangan dosen pembimbing, rela deh lakuin apa aja yang penting lulus! Tapi kebayang nggak tuh, kalo dititipin anaknya buat syarat lulus skrip...