5- Friend

5.1K 546 7
                                    

Jungkook mengambil sebuah ramen dalam lemari dapur. Saat lengannya akan turun, ada telapak tangan yang begitu lembut dan hangat mencegahnya. Persis lengan bundanya yang ...

"Jangan sarapan dengan makanan seperti ini, Nak"

...yang melarangnya untuk makan makanan instan.

Yuri mengambilkan Jungkook sereal yang dia tuangkan kedalam mangkok. Yuri menuangkan susu putih didalamnya lalu memberikan sereal itu pada Jungkook. "Kau bisa tambahkan apapun yang kau mau didalamnya"

Jungkook hanya memandang sereal itu dengan tatapan datar seperti biasa. Persis saat dia melihat Taehyung padahal itu hanya semangkuk sereal yang dibuat oleh ibu tirinya, tidak ditambahi semacam racun atau sesuatu yang membuatnya bisa sakit perut.

"Aku tidak butuh seorang ibu selain bunda yang sudah bersama Tuhan disurga!" ucap Jungkook. Ia dengan kasar menyibak mangkok itu, membuat isinya tumpah dan mangkoknya pecah, menimbulkan suara nyaring dari lantai rumahnya.

Hari masih pagi dan Jungkook sudah membuat keributan. Dia tidak peduli. Sedangkan Yuri yang terkejut tidak tau harus berbuat apa. Dia tidak menyangka Jungkook akan memecahkan barang tepat didepannya.

"Jangan pernah berusaha mengambil ayah dariku!"

Sejak semalam Jungkook tidak bisa memjamkan matanya barang beberapa menit. Percakapan Yuri dan Yoongi masih bisa dia dengar membuat rasa kantuk tak menghampirinya. Jungkook hanya memiliki Yoongi, jika ayahnya berpaling maka dia tidak akan memiliki kasih sayang lagi. Tempatnya mengadu meski sekarang dia jarang berkominikasi dengan ayahnya.

Yuri bermaksud baik. Dia tidak ingin merebut siapa-siapa. Tujuannya menikah hanya agar Taehyung mendapatkan seorang ayah dan juga status yang jelas, kehidupan yang layak dan pendidikan yang baik. Mudah bagi Yuri karena Yoongi adalah seorang ayah yang bertanggung jawab, tapi untuk mendapat hati Jungkook, sepertinya dia harus jatuh berulang kali dulu.

Kakinya yang terkilir dia paksa untuk berlari keluar rumah. Rumah yang tak lagi nyaman untuknya, kasih sayang ayahnya yang terbagi, sekolah juga menjadi tempatnya menyiksa diri. Dimana Jungkook harus mencari kenyamanan? Apa dia harus tinggal di pemakaman saja?

Agaknya, Jungkook tidak memperhatikan jalan, sampai dia harus menabrak seorang penyepeda yang juga membawa semacam kue atau roti, entahlah.

"Maaf, maafkan aku. Aku minta maaf.." Jungkook membungkuk berkali-kali dan membantu pemuda itu berdiri.

"Apa kau seorang atlet lari, atau semacamnya? Tubuhku sakit sekali..". Pemuda itu bukannya fokus pada luka dilututnya tapi malah fokus pada kue yang sudah dia buat semalaman lalu harus berakhir menyentuh aspal. "Lihat apa yang kau lakukan bocah! Daganganku jadi berceceran seperti ini, aku akan rugi!"

Jungkook makin menunduk dalam dan meremat kesepuluh jarinya. Mulutnya dia kunci rapat-rapat. Dia biarkan pemuda itu melampiaskan kemarahannya.

"Sudahlah. Rugi tetap rugi. Aku menghabiskan waktuku saja untuk berteriak padamu. Apa kau baik-baik saja, kau juga sempat terjatuh?"

Jungkook tidak langsung menjawab. Hatinya justru bergetar, ada sesuatu dalam dirinya yang mendesak keluar.

"Apa kau terluka?"

Apa kau terluka?

Aku?

Terluka?

Satu kata terakhir itu memenuhi kepalanya. Jungkook terluka, iya. Tapi dia tidak tau letaknya dimana.

"Aku rindu bunda.." nyatanya Jungkook hanya seorang anak yang kehilangan ibunya. Iya, bukan salahnya jika dia belum bisa menerima kenyataan sampai sekarang. Bukan berarti Jungkook tidak mau mencoba, dia hanya mengikuti hatinya. Jika hatinya masih begitu rindu pada sang bunda maka Jungkook juga tidak berdaya menyangkal. "Aku terluka karena terlalu merindukannya. Seandainya bunda bersamaku maka aku tidak akan ketakutan seperti ini"

Pemuda itu hanya mendengarkan keluh kesah yang sepertinya sudah terpendam sejak lama dalam hati pemuda yang berwajah imut, tapi saat dia memperhatikan keadaan Jungkook ternyata ada luka memar diwajahnya.

"Ikutlah denganku, biar aku obati lukamu"

Jungkook mengusap kasar air mata dikedua pipinya. Mengontrol segukannya. Kedua bahu Jungkook harus naik turun tidak beraturan. Hal itu membuat pemuda yang baru saja mengalami kerugian merasa harus tertawa karena melihat tingkah lucu dari seorang Jungkook.

***

Jungkook tidak tau sihir apa yang diberikan oleh pemuda didepannya. Dia begitu penurut dan tidak membantah saat dia menarik tangannya untuk melangkah. Jungkook juga tak menunjukan protes saat kini lukanya tengah dikompres.

"Dari mana kau mendapat luka seperti ini?" tanyanya. "Karate" jawab Jungkook singkat. "Ada lagi yang lain? Apa disini?" bahu kiri Jungkook harus kembali mendapat tepukan keras. Jungkook sudah menahan erangannya tapi memang kebohongan akan terlihat jelas dari wajah polos milik Jungkook. "Kau tidak mau mengobati luka dibahumu? Kurasa akan membiru jika kau biarkan"

"Sebenarnya kakiku--"

"Iya, iya. Setelah ini aku akan berganti profesi menjadi perawat untukmu"

Dia langsung mengambil es batu untuk dikompreskan pada pergelangan kaki Jungkook dan juga bahu kirinya. "Namaku Park Jimin"

"Jeon Jungkook"

Jimin mengangguk kecil beberapa kali lalu melanjutkan kegiatannya untuk mengompres luka Jungkook. "Apa kau tidak merasa kasian dengan tubuhmu ini?"

"Karate"

Jimin merasa lawan bicaranya ini begitu irit untuk mengeluarkan nafas lebih banyak.

"Kau sudah mengatakan itu tadi. Hanya saja seorang atlet karate tidak akan memiliki luka yang terkesan parah seperti ini. Kau banyak belajar pukulan dan tendangan untuk melindungi diri, tapi justru kau biarkan tubuhmu mengeluarkan darah"

"Apa kau berjualan tadi? Apa aku membuat kerugian untukmu?"

"Ternyata kau juga polos sekali. Sudah jangan difikirkan aku bisa membuatnya lagi"

Jungkook makin merasa tidak enak, "Sekali lagi aku minta maaf.." cicitnya.

"Apa yang kau fikirkan dengan berlari kencang seperti tadi?"

"Aku..lari dari kenyataan"

Jimin menekuk alisnya. Dia ini terlalu polos atau memang tidak pernah memberikan filter untuk apa yang akan dia katakan?

"Jungkook, kau bisa duduk disini sampai kapan pun kau mau, tapi aku harus membereskan daganganku dulu"

Jimin membiarkan Jungkook duduk termenung dikursi ruang tamunya. Sementara dia sibuk memikirkan bagaimana penghasilannya hari ini?

"Park Jimin!"

Cukup berani untuk memanggil Jimin dengan nama yang lengkap dan juga suara yang lantang seperti itu.

"Ada apa bocah?"

"Aku bukan bocah!"

"Lalu apa? Bayi?"

Jungkook mengepalkan tangannya dan menggigit bibir bawahnya dalam waktu yang bersamaan. Jimin suka sekali melihat muka kesal itu.

Jungkook tidak tau perasaan apa ini, tapi dia rasa dia bisa berteman dengan Jimin. Lebih dari pada sekedar rasa maaf dan terimakasih, Jungkook merasa sangat ingin berteman dengan pemuda yang memiliki tinggi dibawahnya beberapa senti.

"Apa kau mengijinkan aku membantumu? Setiap hari minggu aku akan datang ke rumahmu dan juga berjualan. Aku tidak akan merepotkan"

Jimin sangsi dengan itu. Jeon Jungkook, yang dia lihat dari penampilannya bukanlah anak yang terbiasa hidup susah sepertinya.

"Aku tidak perlu mengajakmu berjualan bersamaku. Datanglah setiap hari minggu saat sore hari di taman tempat kita tabrakan tadi. Kita akan menghabiskan waktu seperti seorang teman"

Teman?*

BEREAVE || ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang