"Mau kamu bawa ke mana si Komonya, Dek?" Papa mengejar Shalu kecil yang berlari-lari keluar rumah dengan si Komo -seekor bayi komodo- bertengger manis di pundaknya.
Gadis cilik dengan rambut dikuncir kuda itu tidak peduli. Langkah-langkah kecilnya semakin gesit sementara kedua tangannya mencengkeram erat si Komo. Bocah enam tahun yang bermain dengan bayi komodo mungkin cuma satu berbanding sepuluh juta di dunia ini. Biar pun bayi, itu kan tetap komodo, bukan termasuk binatang yang imut sama sekali!
Bocah lelaki yang umurnya selisih sedikit lebih tua dari si gadis kecil sudah menunggu di depan gerbang rumah. Dari tadi bocah itu memanggil-manggil namanya, mengajak Shalu bermain sepatu roda berkeliling kompleks perumahan. Sayang, yang dipanggil sedang asik berada di halaman belakang bersama papanya, memberi makan hewan-hewan peliharaan.
Begitu mendengar derap kaki kecil Shalu, bocah lelaki yang semula beranjak pergi itu berbalik. Namun, belum juga dia sempat mendekat, mulutnya sudah lebih dulu berteriak. Wajahnya pucat pasi melihat bayi yang bertengger di pundak Shalu. Cicak raksasa!
"Aaaaaa!" Tanpa aba-aba, bocah lelaki tadi balik kanan dan segera berlari.
Nahas, dia lupa bahwa dia sedang memakai sepatu roda. Mau berlari bagaimana? Maka, tanpa keseimbangan yang pas ditambah rasa takut luar biasa, bocah itu terjungkal. Sial, yang lebih dulu menyentuh aspal adalah pelipisnya. Darah pun mengucur, membuat banyak titik-titik merah di aspal, dari yang kecil sampai genangan besar-besar. Si bocah lelaki berteriak semakin keras sampai orang di seluruh kompleks keluar dan tergopoh-gopoh menghampirinya. Oh, pelipisnya menganga, butuh dijahit sampai lima jahitan! Nama bocah lelaki itu Evans.
*
Shalu terkikik sendiri mengenang kejadian nahas tersebut. Aneh, saat itu dia bahkan tidak merasa bersalah sama sekali pada Evans. Masih Shalu ingat, keesokan harinya Shalu dan Papa menjenguk Evans di rumah tepatnya untuk meminta maaf. Namun, si bocah lelaki tidak mau berbicara lagi pada Shalu. Sebaliknya, Tante Mira memberinya kue cokelat super lezat. Seperti yang baru saja dia makan, Choco Lova -rasanya nyaris sama.
Sudah satu jam sejak Shalu mengempaskan tubuhnya di atas peraduan dengan perasaan yang jauh lebih ringan. Ucapan panjang lebar Brahma tadi tidak sia-sia. Oh, atau mungkin Choco Lova-nya yang membuat pikiran ruwetnya sedikit adem? Tak bisa dipungkiri, baik pidato panjang Brahma dan Choco Lova-nya, sukses membuat Shalu kembali ke masa lalu.
Wejangan semacam itu sudah jarang sekali dia dengar sejak Papa meninggal. Mama lebih sering mencibir Shalu daripada memberi nasihat bijak padanya. Sejak kecil, Shalu memang lebih dekat dengan sang papa.
Papa seorang insinyur pertanian yang menjabat sebagai kepala di Dinas Pertanian Kota Bogor. Dia orang yang sangat peduli terhadap kehidupan flora dan fauna. Sehingga, tidak heran halaman belakang rumah Shalu yang luas disulap menjadi sebuah kebun botani merangkap kebun binatang.
Peliharaan Papa banyak sekali, mulai dari ikan maskoki, burung cenderawasih, kura-kura, angsa, bahkan hewan-hewan yang secara hukum negara tidak boleh dipelihara. Bayi macan putih, merak, dan komodo. Meski begitu, Papa selalu menyerahkan hewan-hewan tersebut ke kebun binatang setempat setelah mereka bukan bayi lagi. Bagaimana mungkin juga memelihara seekor macan putih dewasa? Kalau boleh, tentu Shalu sudah jadi Princess Jasmine kan, sekarang?
Dari papanya, tidak heran jika Shalu tumbuh menjadi gadis yang sangat menyukai dan peduli pada binatang. Entah sudah berapa kucing jalanan yang dibawanya pulang, hanya untuk dibuang lagi ke jalanan oleh Mama keesokan harinya.
"Kotor, Dek!" Mama memekik. Atau, "Sudah punya kebun binatang sendiri masih kurang juga koleksinya?"
Semenjak peristiwa terciprat minyak itu terjadi, Shalu semakin jauh dari sang mama. Jika sebelumnya dia antusias membantu Mama di dapur, sekarang setiap kali Mama memasak, dia memilih merusuhi Papa di kebun binatang mereka.
"Kenapa Louis mati, Pa?" Suatu hari, gadis itu terisak-isak mendapati bayi simpanse yang baru satu minggu dibawa ke rumah, mati.
Bayi itu merupakan titipan dari pemerintah kota karena induknya mati di kebun binatang tempat mereka tinggal. Papa Shalu, dengan senang hati menerima bayi simpanse tersebut, dan berjanji akan merawatnya untuk kemudian dikembalikan ke kebun binatang setelah dewasa. Sayang, ternyata Louis telah terinfeksi monkeypox atau cacar pada primata. Karena masih bayi, Louis tidak bisa bertahan.
"Besok kalau sudah besar aku mau jadi orang yang nyembuhin hewan-hewan." Shalu berjanji di depan kubur Louis dengan ingus yang belepotan ke mana-mana.
Papa membelai lembut kepala putri semata wayangnya itu, dan sepenuh hati mendukungnya. "Kalau gitu Adek harus jadi dokter hewan yang hebat. Biar bisa nyembuhin hewan-hewan," ucapnya seraya tersenyum.
Mata Shalu kecil berbinar-binar mendengar penuturan sang papa. "Iya, aku bakal jadi dokter hewan, Pa! Dokter hewan, dokter hewan!" ujarnya bersemangat sambil berlari-lari meninggalkan kubur Louis yang seperti hilang begitu saja dari ingatannya.
Hmm, anak-anak. Papa geleng-geleng kepala.
*
Airmata Shalu kembali membasahi pipinya, juga bantalnya. Sehari ini dia menangis terlalu banyak. Gara-gara Brahma, juga gara-gara mengenang Papa. Selalu itu yang terjadi jika dia mengingat kenangan manisnya bersama sang papa. Apalagi, saat ingatannya sudah sampai di detik-detik terakhir lelaki yang paling dicintainya itu. Beberapa hari sebelum meninggal, Papa menaruh harapan besar pada Shalu.
"Teruskan kuliahmu di kedokteran hewan, biar pun mamamu rewel dan nggak ngasih dukungan," ujarnya. "Papa pengin kamu tahu, kalau Papa selalu dukung kamu meski Papa nantinya nggak di sampingmu lagi, Dek. Lakukan apa yang kamu cintai."
Papa pun berpulang. Penyakit batu ginjal yang dideritanya sudah tak mau memberikan waktu lagi, bahkan untuk sekadar menyaksikan putrinya menyandang gelar drh.
Shalu menganjur napas panjang, menyusut butiran air yang masih tak terbendung dari matanya. Dia kadang betul-betul tak menyangka akan bisa mengenang masa kecilnya dalam usianya yang sekarang. Menerawang jauh seolah menyaksikan dirinya berada di negeri dongeng, padahal rasanya itu baru terjadi kemarin saja.
===&===
Flashback sedikit ke masa lalu Shalu yang ternyata sudah ada Evans di sana. Apakah perjodohan mereka kali ini memang sudah digariskan oleh semesta? *halah! 😧
(Nulis sedih-sedih jadi kebawa baver sendiri) 😂
Okay, yang masih setia menanti Brahma, tetap stay tune di sini ya, jangan lupa kasih voment biar aku semangat teros. Maacih! 😍
Salam Spatula,
Ayu 😘
KAMU SEDANG MEMBACA
The Last Recipe (Tamat)
ChickLit[SUDAH TERBIT] Shalu Yoris Bijani, seorang dokter hewan yang gak suka masak terpaksa harus mempraktikkan 25 resep masakan favorit calon suaminya, Evans. Gara-gara kewajiban yang bikin stres itu, Shalu bertemu dengan Brahma, seorang Executive Chef di...