Cinta kadang seperti angin ribut, tak dapat ditebak kapan datangnya. Tiba-tiba riuh saja terasa.
(The Last Recipe)
❤
Shalu. Online.
Lo sakit apa, chef? 😔
Brahma. Online.
Shalu is typing ...
Chef!
Brahma!
Brahma!
Brahma!
Brahma!
Brahma. Last seen at 22.36.
Shalu mematikan ponselnya dengan kesal. Di-read doang chat gue! Batinnya sembari mengoleskan krim malam merata ke seluruh wajah. Kursus sore ini cukup menguras tenaga dan emosi Shalu sehingga dia ingin segera pulang saat Tante Mira memberi nilai E pada rawonnya. Rencananya, Shalu ingin mampir dulu ke apartemen Brahma untuk memastikan chef bintang dua itu baik-baik saja. Maksudnya, meski Brahma sakit Shalu harap sakitnya masih wajar seperti masuk angin atau kecapaian. Kalau sampai sakit serius kan kasihan, Brahma cuma sendirian di apartemen.
Namun, dia mengurungkan niat itu karena baru bisa mengundurkan diri dari rumah Tante Mira pukul sembilan malam. Kata calon mertuanya, ini adalah kesempatan langka yang harus mereka gunakan untuk membahas pernikahan. Maka, selama dua jam lebih Shalu duduk di ruang kerja Tante Mira, mendengarkan presentasi Tante soal tetek bengek pernikahannya dan Evans.
"Aku ngikut apa kata Tante saja sama Mama," ujarnya saat Tante Mira meminta pendapat.
"Oke, kalau gitu menu catering biar jadi urusan Tante sama mamamu. Yang jadi PR kamu adalah tema party-nya, rancangan gaunmu, dan tamu-tamu undangan dari pihak kamu sama Evans. Itu saja, Sayang. Tante harap dalam dua minggu PR kamu sudah selesai. Kita langsung ke desainer, pesan undangan, dan mendatangi wedding planner untuk berdiskusi soal konsep wedding kalian."
Bukannya girang, Shalu malah pulang dengan beban pikiran menumpuk. Sepanjang perjalanan dia tak henti mengurut kening sambil video call-an dengan Evans.
"Tenang, Babe. Nanti aku bilang Mama supaya kamu duduk manis aja setelah PR kamu ini selesai. Nggak susah kan, Babe, Mama cuma minta list undangan, konsep party sama gambaran bride gown kamu aja," ucap si Mister Perfect, mencoba menenangkan tunangannya yang uring-uringan.
Karena pikirannya sedang ruwet, tidak mungkin juga dia menjenguk Brahma. Jadi, Shalu memutuskan untuk menjenguk sang chef besok malam saja. Beruntung kalau Brahma ada di apartemen, kalau tidak pun Shalu akan nekat ke restoran. Gadis itu lantas tertidur dengan sejuta bayangan tentang pernikahan.
*
I hate Monday. Slogan tersebut tidak berlaku untuk Shalu. Baginya, setiap hari kerja adalah sama, tak peduli apakah itu hari Senin atau Jumat. Dia adalah dokter hewan dengan dedikasi tinggi, mencintai pekerjaannya sepenuh sungguh sehingga hampir tidak pernah ada kata malas untuk berangkat kerja. Sebaliknya, bagi Shalu Senin adalah ritme yang menyenangkan untuk dinikmati. Di sepanjang perjalanan ke tempat kerja dia bisa menyaksikan pemandangan tergesa; siswa SMA dengan motor berknalpot nyaringnya yang ngebut, mikrolet dan mobil pelat merah yang saling salip, juga bunyi klakson yang saling sahut saat lampu merah berubah hijau.
Begitu pula dalam perjalanan pulang, Shalu suka sekali mengamati seluruh aktivitas di jalan. Bapak tua penjual cilok yang mengayuh sepeda, anak-anak jalanan yang menyanyi sumbang dan mengetuk kaca mobilnya untuk minta uang, atau sekadar menatap langit yang mulai keoranye-oranyean. Kegiatan remeh inilah yang selalu menjadi pengingat bagi Shalu untuk bersyukur. Benar rupanya ketika seseorang berhenti sejenak dan memerhatikan sekitar, maka hati akan lebih hidup dan peka. Karena itu tak jarang Shalu kadang menangis haru sambil menyetir, atau senyum-senyum sendiri dengan berbagai arti.
Sesampainya di rumah dari hari Senin-panjangnya di dinas, Shalu bergegas ke dapur. Menjenguk orang sakit lazimnya harus menenteng sesuatu, bukan? Dan untuk Brahma Shalu akan membuat sesuatu yang spesial. Choco Lova Cake ala-ala. Brahma pasti bakal senang! Shalu pun mulai mengeksekusi step by step seperti yang tertera di resep cookpad dengan semangat.
Setelah Choco Lova-nya siap, Shalu segera mandi. Sehabis maghrib pas dia akan langsung meluncur ke apartemen Brahma supaya tidak kemalaman dan ... bisa sedikit berlama-lama di sana. Semoga Brahma udah pulang, doa itu tak henti dirapalkan Shalu sepanjang perjalanan. Dia membingkis Choco Lova di kardus cake yang tadi dibelinya, lengkap dengan pita hias dramatis. Bingkisan cake yang menurutnya lezat banget itu diletakkan di kursi penumpang di sebelahnya.
Senyum Shalu merekah saat sampai di lobi bangunan apartemen yang mencakar langit. Dia segera memarkir mobil, turun dan menenteng Choco Lova-nya dengan hati-hati. Petugas keamanan menghampiri Shalu, bertanya tanpa basa-basi mau cari siapa Shalu di apartemen ini. Terang saja Pak Satpam belum pernah melihat Shalu di sekitar apartemen, ini memang kali pertamanya Shalu ke sini.
"Oh, tamunya Den kasep chef Brahma. Unit sepuluh, Neng, langsung naik lift ke lantai sepuluh saja. Unit sepuluh-dua, yang paling ujung, nah di situ, Neng." Gelagat Pak Satpam yang semula sangar berubah ramah setelah Shalu menyampaikan tujuannya dengan sopan.
"Dia udah pulang, Pak?" tanya Shalu memastikan.
"Den Brahma sepertinya seharian ini nggak keluar apartemen, Neng. Sepertinya lagi sakit," jawab Pak Satpam dengan raut wajah prihatin.
Gadis itu melangkahkan kaki dengan perasaan campur aduk, riang karena Brahma ada di tempat, juga tak sabar untuk melihat kondisinya. Kalau sampai tidak berangkat kerja mungkin sakitnya masuk kategori cukup. Di sisi lain, Shalu juga berpikir bahwa Brahma pasti akan senang mendapat surprise darinya. Shalu memang tidak bilang pada sang chef kalau malam ini hendak bertandang ke apartemen. Sengaja. Kalau bilang dulu bukan kejutan namanya.
Di dalam lift Shalu tak henti menimang-nimang Choco Lova Cake sambil bersenandung kecil. Begitu lift berhenti di lantai sepuluh, senyum manisnya semakin merekah saja saat membayangkan ekspresi terkejut Brahma. Shalu berjalan lurus di lorong, melewati satu pintu unit pertama. Barulah di depan pintu jati mengkilap bertuliskan 10-2, dia mematikan langkahnya.
Pintu apartemen Brahma sedikit terbuka sehingga gadis itu bisa melihat bagian dalamnya dari celah pintu. Senyum yang terus tersungging sejak dari rumah seketika lebur bagai bongkahan es tersiram air panas. Rasa sakit, perlahan tapi pasti merambati hingga sudut-sudut hati Shalu. Choco Lova Cake yang sejak tadi ditimangnya dengan hati-hati, terlepas begitu saja dari genggamannya. Shalu berbalik tanpa suara, berlari kecil menuju lift. Entah sudah sejak kapan---Shalu tidak sadar---tapi air matanya menderas sepanjang lift membawanya turun dari lantai sepuluh ke lantai dasar.
Dasar cewek murahan! Dokter hewan itu mengumpat keras-keras setelah menutup kasar pintu mobilnya. Bahunya berguncang-guncang. Bagaimana mungkin melihat Niken mencium Brahma rasanya bisa sesakit ini? Shalu menyalakan mesin, lantas menekan pedal gas dalam-dalam.
===&===
Bingung mau komentar apa 😭
Salam Spatula,
Ayu 😘
KAMU SEDANG MEMBACA
The Last Recipe (Tamat)
Чиклит[SUDAH TERBIT] Shalu Yoris Bijani, seorang dokter hewan yang gak suka masak terpaksa harus mempraktikkan 25 resep masakan favorit calon suaminya, Evans. Gara-gara kewajiban yang bikin stres itu, Shalu bertemu dengan Brahma, seorang Executive Chef di...