Bab 2: Speechless | 2

10K 857 43
                                    

Semula Shalu mengira rumah Tante Mira bergaya Eropa klasik dengan pilar-pilar besar yang mewah, atau bak istana yang tangganya melingkar-lingkar. Namun dugaannya meleset, dan dia tidak bisa untuk tidak segera jatuh cinta begitu memasuki halaman rumah Tante Mira.

Di balik pagar tingginya, terdapat taman luas yang koleksi bunganya lengkap. Mulai dari bougenville sampai anggrek paling langka ada di sana. Gemericik air kolam yang berada di tengah-tengah taman membuat suasana semakin damai. Semua tertata rapi. Bersih. Wangi.

Rumah dengan model kayu kotak itu didominasi dinding kaca, mengingatkan Shalu pada rumah keluarga Cullen di sekuel Twilight. Dari teras Shalu bisa melihat foyer yang luas, yang menurutnya lebih mirip art gallery karena banyaknya barang-barang seni dan foto-foto keluarga yang menghias dindingnya. Dari desain rumah ini Shalu bisa menyimpulkan bahwa Tante Mira adalah orang yang perfeksionis dan punya selera tinggi.

Oh iya, tentu saja satu minggu berjalan sangat cepat! Selama itu pula Mama terus mendesak supaya Shalu mau dijodohkan dengan Evans, membuatnya pusing bukan kepalang. Satu sisi, Shalu masih tidak yakin dengan semuanya. Mereka bahkan belum mengenal satu sama lain.

Lebih dari itu, Shalu sebenarnya juga belum ingin menikah. Ikatan tersebut masih terlalu berat. Jauh dari angan. Masih banyak impian yang ingin dia raih alih-alih bermimpi memakai gaun pengantin berbelahan dada rendah, sekalipun pendampingnya adalah seorang pangeran. Apalagi saat membayangkan dirinya harus tinggal di rumah dengan segudang tugas rumah tangga. BIG NO!

Namun, di sisi lain Shalu tidak ingin mengecewakan Mama, satu-satunya orangtua yang masih dia punya. Shalu juga mulai risih dengan Didik, salah seorang rekannya di dinas. Lelaki yang memanggilnya dengan sebutan ukhti Shalu itu selalu menatapnya dengan tatapan kelaparan.

Shalu tak habis pikir orang dengan jidat menghitam dan jenggot panjang tersebut punya nafsu untuk menjadikannya istri kedua. Hal itu pernah diungkapkannya secara terang-terangan, dan sukses membuat Shalu alergi setiap kali berdekatan dengan Didik. Hiii!

Lagi pula, benar juga kata Mama. Cowok seperti apa lagi yang dia cari kalau sekelas Evans saja ditolak? Shalu sebenarnya tidak pernah membuat kriteria macam-macam. Dia hanya ingin pendamping hidup yang seperti papanya. Baik, bertanggung jawab, menerimanya dengan terbuka. Hmm ... apa salahnya dicoba kalau begitu? Siapa tahu Evans punya kepribadian seperti Papa?

Toh, dia bisa meminta waktu pada Tante Mira supaya diberi kesempatan untuk pedekate lebih dulu dengan Evans. Shalu tersenyum. Dia merasa itu adalah solusi yang bijak. Mencoba dulu. Setidaknya dia tak langsung mengecewakan Mama dan Tante Mira. Andai dia tak merasa cocok dengan Evans pun, dia akan punya penjelasan dan alasan yang tepat untuk menolak. Win-win solution!

*

"Ayo diminum Jeng, Shalu. Ini sahlab, minuman khas Mesir. Bisa bikin badan enakan!" Tante Mira mempersilakan tamunya untuk meminum sahlab yang masih mengepulkan uap dari cangkir.

Mereka duduk di gazebo outdoor yang berada di lantai dua. Sejuk, semilir. Dari sana aktivitas di luar pagar rumah Tante Mira terlihat jelas. Belum apa-apa Shalu sudah betah di rumah ini. Homey banget!

"Evans pulang tiga bulan lagi, Shalu. Sebentar lagi dia wisuda. Rencana Tante dan mamamu, pas Evans pulang itu kalian bisa langsung tunangan." Tante Mira bicara langsung ke titik perbincangan, khas entrepeneur sukses yang tidak suka basa-basi dan buang-buang waktu. Time is money, Babe!

Shalu mengalihkan pandangannya pada Mama begitu mendengar ucapan Tante Mira. Matanya menyipit -pertanda dia marah- melihat Mama yang justru tersenyum jahil. Mama nggak bilang!

"Ta-tapi Tante, begini. Maksudnya, saya dan Evans kan, belum saling kenal. Apa nggak sebaiknya ... kami pedekate dulu, gitu?" Shalu menjawab kikuk. Pipinya memanas.

Tante Mira tertawa mendengar pernyataan Shalu. "Kamu ini kaya mau nikah besok saja. Tentu, selama tiga bulan ini kalian akan saling kenalan. Pedekate virtual dulu nggak apa-apa, kan? Lagi pula kamu dan Evans kan, dulu teman kecil. Baru setelah Evans rampung kuliah, kalian nikah."

Senyum anggun merekah di bibir Tante Mira yang dipoles lipstik merah. Binar mata wanita itu benar-benar tulus dan menyiratkan harapan besar pada Shalu. Gadis itu jadi merasa serba salah dan semakin bingung saja.

"Memangnya kapan Evans wisuda, Tante?"

"Oh, kalau lancar ya, lima bulan dari sekarang. Tiga bulan lagi kalian tunangan, dua bulan berikutnya kalian nikah."

Bloody hell! Shalu merasa semua kebahagiaannya disedot Dementor.

*

Satu jam berikutnya, mereka sudah berpindah ke ruang makan. Sebelumnya, Tante Mira mengajak Shalu bersenang-senang, yang bagi gadis itu justru seperti penyiksaan. Cook for fun! Begitu Tante Mira menyebutnya.

Shalu, yang masih syok dengan kenyataan bahwa lima bulan lagi dia akan jadi Nyonya Evans, cuma bisa menggerutu dalam hati. Fun apanya!

Saat Tante Mira menyuruhnya mengiris bawang merah, sampai lima belas menit dia justru sibuk menyeka air mata. Apalagi ketika Tante memberi instruksi untuk diambilkan kluwek, Shalu benar-benar seperti cewek idiot. Nggak ngerti! Dan tentu saja yang diambilnya adalah kemiri.

"Shalu sepertinya nggak biasa di dapur ya, Jeng Desi?" Tante Mira berseloroh di sela-sela makan siang. Meski nadanya bercanda,  tetap saja terasa seperti pisau yang ditancapkan langsung ke jantung Shalu. Gadis itu seketika berhenti mengunyah. Selera makannya hilang.

"Ah, Shalu mana pernah ke dapur, Jeng. Takut dia sama minyak." Mama menjawab sambil tertawa, membuat Shalu ingin sekali mencubit pinggang sang mama.

"Duh! Anak cewek nggak boleh gitu, Shalu. Tante kasih tahu ya, untuk memenangkan hati laki-laki, menangkan dulu perutnya. Kalau perutnya sudah bergantung pada kamu, pasti hatinya nggak akan ke mana-mana lagi. Artinya, kamu sebagai perempuan harus bisa masak supaya suamimu makin sayang dan betah di rumah," lanjut Tante Mira.

Oh, hati Shalu sekarang sudah berserakan di lantai marmer ruang makan yang mengkilat itu. Masak? Apa saja boleh, asal jangan masak. Itulah jargon yang selama ini didengungkan Shalu.

"Gini aja, ya. Berhubung Evans doyan banget makan, selama tiga bulan ini tiap weekend kamu ke rumah Tante. Tante mau ajarin kamu masak. Kursus kilat lah, istilahnya." Tante Mira semringah menyampaikan gagasannya. Mama apalagi, wanita itu terlihat senang sekali. Dalam hati dia bersorak, akhirnya ada yang bisa membuat Shalu mau terjun ke dapur!

Lain halnya dengan Shalu, mata gadis itu mulai berkaca-kaca. Ya Tuhan, kok jadi gini, sih?

===&===

Hmm, kalau kamu jadi Shalu bakal gimana tuh, ngadepin cabumer yang seremvong ituh? Yang sabar aja, ya, yang penting anaknya tamvan yakaaan? 😆

Okay, tunggu kelanjutan ceritanya besok! Vote dan komen kalian sangat berarti buatku. Makasih udah mau baca ❤

Salam Spatula,

Ayu 😘

The Last Recipe (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang