Bab 11: Kitty Clinic and Shop | 2

4.5K 524 40
                                    

Shalu turun dari motor, lalu membuka pintu geser klinik hewannya dengan tergesa. Ada satu dua pelanggan yang sedang membeli pakan, juga seekor kucing ras Persia cokelat gemuk yang sedang keenakan di-grooming. Karyawan Shalu yang berjaga di kasir tergopoh menghampiri sang dokter. Ini kan weekend, kok Mbak Shalu ke klinik? Bukannya harus kursus masak? Batinnya. Entah dari mana berita perjodohan Shalu dan kursus masaknya begitu cepat menyebar. Ah, siapa lagi biangnya kalau bukan Mama?

"Ada apa, Mbak?" tanya Ratih--karyawan kasir tadi--spontan saat melihat Shalu yang pecicilan.

"Darurat, Tih. Keserempet motor." Shalu menjawab sekenanya sambil terus berjalan menuju ruang periksa. Kardus berisi kucing malang itu ditentengnya sangat erat.

Di belakangnya, pintu geser kembali terbuka. Brahma melangkah masuk dan tertegun sejenak di depan pintu. Perasaannya campur aduk begitu memasuki klinik hewan milik gadis yang bayangannya saja tak mau pergi dari pelupuk mata. Bangga, haru, kagum, juga cinta melebur jadi satu dalam rongga dadanya, membuatnya seperti akan meledak.

Klinik hewan Shalu terkesan ceria dengan wallpaper dinding bergambar kucing-kucing lucu. Bangunannya memanjang ke belakang, dibatasi pintu geser lain yang bertuliskan Ruang Periksa. Sementara, bagian depannya penuh dengan lemari-lemari besi yang juga berwarna baby pink, tempat beraneka makanan hewan ditata rapi. Royal Canin, Whiskas, Me'O, sampai Felibite kering hingga pakan basah kalengan semua lengkap. Di sisi lain, tempat grooming kucing dan anjing, juga terdapat rak-rak gantung yang berisi bermacam aksesoris hewan.

Brahma tersentak saat kakinya disentuh kaki mungil yang terjulur dari celah-celah kandang besi. Banyak kandang-kandang besi di klinik Shalu, sebagian dijual, sebagian untuk tempat hewan-hewan yang dititipkan.

"Hai, kucing kecil." Brahma berjongkok, membelai kitten putih berbulu lebat yang menjawil kakinya barusan dari celah kandang. "Oh, kamu mau main? Hmm, bentar ya, bu dokternya lagi nolongin kucing lain. Eem, kucing besar." Entah sejak kapan Brahma ketularan kebiasaan Shalu ngobrol dengan kucing. Refleks, atau memang sebesar itukah pengaruh Shalu baginya?

Pintu ruang periksa terbuka, Shalu keluar dari dalam ruangan tersebut. Dia celingukan mencari seseorang yang bisa membantu, tapi kedua karyawannya sama-sama sedang sibuk.

"Brahma." Menangkap basah Brahma yang sedang ngobrol dengan kitten, Shalu memanggil cowok itu. "Bisa bantuin gue?"

Tanpa perlu bertanya, Brahma bergegas ke ruang periksa.

"Cuma bantu pegangin kucing itu doang," terang Shalu seraya kembali ke ruangan. Brahma mengekor. Di belakang mereka, kedua karyawan Shalu yang sedari tadi sudah gatal bibirnya langsung berbisik-bisik.

"Eh, eh, itu calonnya Mbak Shalu, Tih! Yang diceritain sama Bu Desi itu, lho! Bening banget gilaaa, gue deg-degan nih! Mereka ngapain ya, di dalam?" Ratih mencubit lengan rekan kerjanya yang mencerocos seperti presenter gosip. "Sstt! Jangan keras-keras!"

*

"Ya ampun, Pus, tulang pinggulmu kayanya patah." Shalu melakukan palpasi di sekitar tulang pinggul si kucing. Tak lupa dia mengenakan handscoon bersih setelah mencuci tangan tujuh langkah. Kucing itu meringkuk lemah di meja periksa, tak mampu mengangkat tubuhnya.

Brahma lagi-lagi tak bisa menyembunyikan kekagumannya pada Shalu, lebih dari sebelumnya bahkan. Di ruang periksa ini semuanya tertata rapi dan wangi. Sebuah meja periksa berbahan alumunium berada di tengah ruangan, di sampingnya tersedia wastafel untuk cuci tangan. Tak ketinggalan timbangan untuk mengukur berat badan pasien, juga sebuah lemari kaca berisi peralatan periksa. Stetoskop, termometer, light pen, hammer, dan masih banyak lagi alat yang Brahma tidak tahu namanya.

The Last Recipe (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang