Bab 32: Fleur De Lys | 1

5.6K 438 15
                                    

Brahma merebahkan tubuhnya di tempat tidur dengan hati yang luluh lantak. Rentetan kenyataan yang harus dihadapinya malam ini jauh lebih berat ketimbang takdir pahit lain sepanjang hidupnya. Chef bintang dua itu menghela napas panjang untuk menstabilkan emosi dan pikiran yang carut marut. Baru sedetik matanya memejam, bayangan Shalu memenuhi benaknya.

Betapa Brahma adalah orang yang paling menyesali kejadian yang menimpa Shalu malam ini. Coba saja dia punya sedikit keberanian untuk bilang sejak awal, mungkin cerita ini akan berbeda, bukan? Lo emang pengecut! Dia merutuk diri sendiri. Dia juga menyesal telah memberitahu perihal masa lalunya pada Shalu. Untuk apa? Lihat, sekarang luka yang selama ini mati-matian disembuhkannya harus mengoreng lagi.

"Damn!" Kepalan tangan Brahma mendarat di kasur empuknya.

Dia benar-benar frustrasi, apalagi saat mendapati reaksi Tante Mira. Brahma pikir sang tante masih bisa bersikap bijak atas tingkah bejat Evans, memberi hukuman seberat-beratnya mungkin. Nyatanya? Tante Mira menutup mata dan tidak mau tahu. Yang dia ingin hanya satu, pernikahan tetap berlangsung daripada menanggung malu. Sungguh egois!

Harusnya Brahma tadi bilang semua tentang Evans---bukan cuma tentang masa lalunya saja---agar Shalu mantap meninggalkan sepupunya tersebut. Bahwa Evans adalah seorang pemabuk, suka main cewek, hobi foya-foya, dan ... pernah membuat hancur hidupnya. Sang chef menyerah. Sebesar apa pun usahanya untuk menghindar, untuk melupakan, toh peristiwa lampau itu tidak akan pernah hilang dari ingatan. Rasa sakitnya baru akan sembuh karena kehadiran Shalu, tapi lihat saja! Malam ini semuanya seperti terulang kembali.

*

"Saya Lili. Liliana Sari." Gadis berperawakan ramping-semampai, berambut sebahu, dan berlesung pipi itu memperkenalkan diri.

Brahma menduga lili yang satu ini bukan hanya berasal dari tumpahan susu Dewi Hera saja, melainkan jelmaan atau reinkarnasi sang dewi. Sepasang matanya terpaku, tak mau lepas dari kesempurnaan gadis di hadapannya ini. Geletar aneh yang tidak pernah sebelumnya dirasakan Brahma, membuat sang chef berjanji sepenuh hati untuk selalu melindunginya.

Dia tidak rela kalau sampai kesucian dan keanggunan sang bunga dirusak oleh kumbang-kumbang kota. Terlebih, karena Lili memang berasal dari sebuah daerah yang masih perawan, yang belum tersentuh oleh degradasi moral. Liliana bak bunga lili putih yang ada di dasar jurang dan tertutup semak belukar---tak terlihat, tapi akan menggoda siapa pun untuk menjamahnya jika sekali saja menampakkan diri.

Setidaknya itulah yang dikatakan Bi Nah untuk meyakinkan Tante Mira supaya Lili diterima. Sebagai pengusaha properti yang sudah punya nama di mana-mana, Tante Mira tentu tidak ingin terlihat melempem di daerahnya sendiri. Selain membangun Merlion, sang tante memutuskan membeli lahan luas di dekat IPB dan mendirikan kost-kostan elit untuk mahasiswa berduit. Karena itulah dia membutuhkan tangan terampil yang bisa memelihara kostnya, menjaganya senantiasa bersih, menyirami bunga-bunga, dan selalu stand by di sana untuk mengurus administrasi juga.

"Di desa saya ada, Bu. Gadis, dia yatim-piatu sejak kecil dirawat sama budhe dan pakdhe-nya. Terakhir kali saya pulang bulan lalu dia lagi nyari kerja, Bu. Sudah dua tahun lulus SMA dan bosen katanya di kampung terus. Dia sempat bilang pengin ikut saya." Bi Nah mengusulkan Lili saat Tante Mira mengutarakan niatnya mencari seseorang yang bisa menunggui kost.

"Oh, ya? Anaknya jujur nggak, Bi? Soalnya kerjaannya nanti kan nggak cuma bersih-bersih kost, tapi juga ngurus administrasi uang yang masuk dan keluar."

Bi Nah tersenyum optimis, memamerkan giginya yang tak lagi penuh. "Saya jamin dia anaknya jujur, Bu. Baik, kalem, nggak suka main-main, rajin ngaji lagi. Jadi kostnya Ibu nanti ndak angker."

Tante Mira menaikkan alis mendengar jawaban abdi setianya, lantas tertawa. "Ada-ada aja Bi Nah ini. Ya sudah, suruh dia ke sini secepatnya. Bi Nah ada nomor telponnya, kan? Ditelpon saja."

Akhirnya pada suatu sore---saat Tante Mira, Evans, dan Brahma sedang berkumpul di gazebo menikmati secangkir sahlab---Bi Nah menghadap sambil membawa sekuntum lili yang sedang rekah-rekahnya.

"Hmm .... Liliana Sari. Liliana. Lebih oke, kan? Tinggalin nama kampung kamu di kampung, di sini kamu bakal dipanggil Liliana." Evans menyeringai lebar sembari menjabat tangan lembut Lili setelah sang gadis memperkenalkan diri.

Brahma tentu tak mau kalah. Waktu itu keduanya masih berhubungan baik dan tak punya masalah. "Jangan mau dirayu dia, Liliana. Ceweknya banyak! Mending sama aku aja. Kenalin aku Brahma, eksekutif chef di restoran Tante Mira. Kamu pasti bakal makan enak terus tiap hari kalau sama aku," ucap Brahma jenaka, membuat Lili tersenyum merona menampakkan lesung di kedua pipinya.

Evans meninju lengan Brahma melihat tingkah sepupunya yang tidak biasa. "Lihat, Mam, Brahma udah mulai puber. Ati-ati, Mam, bentar lagi dia pasti minta kawin."

Ucapan nyeleneh Evans disambut derai tawa Tante Mira dan semua yang ada di gazebo. Tante mengacak rambut kedua anak perjakanya, menyuruh mereka menjauh dari Lili, dan memberikan pengarahan pada si gadis manis berlesung pipi.

*

Waktu berlalu cepat sejak perjumpaan pertama. Rupanya Brahma tidak main-main dengan ucapan gombalnya tersebut. Setiap weekend dia telaten mengunjungi Lili di kost, tak lupa membawa penganan yang dimasaknya dengan penuh cinta. Entah kenapa dengan Lili dia merasa nyambung, Brahma menebak karena kesamaan nasib di antara mereka---yatim piatu.

Mendapat perhatian besar dari seorang chef ganteng yang baik dan mengayomi, Lili tak bisa mengelak lagi. Dia juga jatuh hati. Gadis desa itu menyambut uluran kasih Brahma dengan cinta. Meski pada satu titik dia pernah menolak lantaran menganggap dirinya tidak pantas untuk Brahma, tapi Brahma mampu meyakinkannya.

"Aku juga piatu, dan ... aku nggak pernah nganggap bapakku masih hidup. Jadi kita sama. Cewek kaya gimana lagi yang mau nerima aku yang sebatang kara ini, kalau dia nggak ngerasain hal yang sama? Kamu mau nerima aku, kan, Liliana?" Sorot mata Brahma terlihat hangat, tapi mantap.

Lili mendesah. Logikanya tidak bisa mencerna bahwa seorang abdi dan pangeran bisa bersatu, tapi hatinya menampik hal tersebut. Bukankah tidak ada yang tidak mungkin di tangan Tuhan? Akhirnya Lili mengangguk, dan detik itu juga Brahma menyerahkan hatinya---seutuhnya. Dibutakan oleh cinta, sang chef pun melupakan pesan pepatah lama; semakin banyak kita memberi kepercayaan, akan semakin banyak pula kekecewaan yang harus ditelan.

===&===

Hmm ... Liliana, gadisnya Brahma 😌

Maacih yang masih ninggalin voment-nya! 😍

Salam Spatula,

Ayu 😘

The Last Recipe (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang